kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pengamat: Kebijakan Sektor Energi Maju Mundur, Dominan Dipengaruhi Faktor Politik


Minggu, 07 Mei 2023 / 22:14 WIB
Pengamat: Kebijakan Sektor Energi Maju Mundur, Dominan Dipengaruhi Faktor Politik
ILUSTRASI. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) beroperasi di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Minggu (4/12/2022).


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun sejumlah kebijakan yang mengatur sektor batubara, mineral, energi baru terbarukan (EBT), hingga hilir minyak dan gas bumi (migas). Namun hampir seluruh kebijakan tersebut masih belum jelas atau menggantung.

Ambil contoh, kebijakan pembatasan pembelian Pertalite melalui revisi Peraturan Presiden (Perpres) 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran yang sampai saat ini belum juga rampung.

Padahal rencana dibuatnya kebijakan ini untuk mengantisipasi konsumsi BBM Subsidi yang melonjak akibat naiknya harga minyak dunia.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif mengungkapkan, revisi Perpres 191 untuk pembatasan Pertalite masih dalam proses. Adapun pembelian Pertalite masih bisa dilakukan seperti biasa dan belum ada pembatasan.

Nantinya revisi Perpres 191 akan secara ketat membatasi konsumsi Pertalite dengan mengatur kriteria kendaraan yang boleh menenggak BBM subsidi ini.

“Revisi Perpres 191 betul-betul ada kriteria. CC-nya sekian, jenis sekian. Sepakat tidak misalnya mobil kecil murah sama (bayar bensinnya) dengan model gede? Kalau sama tidak adil kan. Masuk itu di Perpres,” jelasnya saat ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (5/5).

Baca Juga: Sudah Ada Aturan Petunjuk Teknis, Pembatasan LPG 3 Kg Memasuki Tahap I di 2023

Adapun Arifin menerangkan pemerintah akan mengantisipasi kapasitas tangki kendaraan. Selama ini banyak kendaraan yang membeli dengan kapasitas tangki yang tidak sesuai dengan spesifikasi kendaraannya.

Selain akan mengatur pembatasan BBM subsidi, pemerintah juga akan membatasi penjualan LPG 3 Kg karena dari tahun ke tahun konsumsi LPG subsidi terus meningkat. Arifin mengatakan, konsumsi LPG non-subsidi justru terus menurun.

“Jika mau diimplementasikan, harus didukung dengan data yang betul-betul mendukung jadi ketahuan siapa yang berhak untuk membeli gas 3 kg ini,” ujarnya dalam kesempatang sama.

Meski kebijakan petunjuk teknis pembatasan LPG 3 kg sudah keluar, Pemerintah belum bisa memberikan kepastian kapan kebijakan distribusi energi subsidi tepat sasaran ini akan diimplementasikan.

Contoh lain kebijakan energi yang maju mundur ialah di sektor batubara, yakni lembaga ‘pungut salur’ iuran batubara. Sampai saat ini payung hukum lembaga ini belum juga selesai dan terus mundur dari target yang telah ditetapkan sebelumnya.

Awalnya Mitra Instansi Pengelola (MIP) batubara atau yang sebelumnya dikenal Badan Layanan Umum (BLU) batubara ditargetkan rampung di awal 2023, menjadi mundur ke Maret 2023, yang kemudian kembali mundur menjadi semester I 2023 tanpa ada keterangan kapan tepatnya akan benar selesai.

Adapun sampai saat ini, pemerintah pun juga belum memberikan keterangan rinci mengenai nilai pungutan dan pajak pertambahan nilai (PPN) yang akan dikenakan bagi pihak pelaku usaha.

Kementerian ESDM mengakui bahwa kebijakan lembaga pungut-salur iuran batubara sebelumnya terganjal masalah PPN. Namun belakangan sudah ada solusinya.

Meski sudah ada solusinya, rampungnya MIP batubara ini masih menimbulkan tanda tanya perihal kepastian pelaksanannya dan skema pungutan iuran sebagai kewajiban bagi pelaku usaha.

Bhima Yudhistira, Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) menjelaskan, inkonsistensi kebijakan energi sejatinya bermula dari faktor politis. Khawatir dengan pembatasan yang terlalu ketat, mislanya pembelian Pertalite, akan menimbulkan gejolak politk dan ketidakpuasan di tengah masyarakat.

“Dan ini tentu akan berpengaruh pada keberhasilan Pemilu atau kandidat tertentu,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (7/5).

Sedikit kilas balik, di tahun politik seperti di 2014 dan 2019, banyak kebijakan-kebijakan yang sebenarnya kurang populer, tetapi perlu dilakukan langkah atau eksekusi yang tegas, tetapi pelaksanannya harus mundur karena menimbang efek politik.

“Jadi banyak kebijakan yang akhirnya berumur pendek diwacanakan habis itu hilang,” ujarnya.

Baca Juga: Begini Peran Industri Hulu Migas dalam Pemenuhan Kebutuhan Energi dan Petrokimia

Selain faktor politik, lanjut Bhima, keberanian mengambil keputusan juga berkuang karena menunggu harga komoditas mengalami penurunan supaya masyarakat tidak terlalu kaget ketika terjadi pembatasan pembelian.

Namun, Bhima mengakui cukup bingung pembatasan Pertalite tidak kunjung dilaksanakan padahal harga minyak mentah sudah turun 34% dibandingkan setahun yang lalu. Dia melihat, saat ini harga minyak mentah sudah mencapai US$ 71 per barel.

“Jadi mau nunggu apa lagi? Atau kalau nunggu momentum tetapi ini juga tidak kunjung dilakukan pemerintah. ini yang jadi pertanyaan apa, apakah inflasi harus menuggu 3% dulu baru dilakukan pembatasan Pertalite? jadi indikator momentum apa, faktor apa yang jadi pertimbangan jadi tidak jelas,” tegasnya.

Tidak hanya di bidang hilir migas, kebijakan maju-mundur di sektor batubara dan mineral juga kerap menggantung. Bhima menilai, banyaknya ketidakpastian kebijakan yang kemudian berumur pendek ini, membuat daya saing investasi rendah di Indonesia.

Bahkan persoalan ketidakpastian kebijakan ini, masuk ke dalam salah satu dari 5 masalah utama investasi di Indonesia. Alhasil investor jadi ragu masuk untuk menanamkan modalnya di dalam negeri.  

Hal yang sama juga disampaikan pengamat Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, faktor politik lebih dominan dalam pengambilan kebijakan sektor energi.

“Jika misalnya dilakukan pembatasan BBM Subsidi, akan menimbulkan implikasi sosial politik yang besar. Jadi pertimbangan ekonomi justru lebih sedikit,” ujarnya saat dihubungi terpisah.

Di sisi lain, ketika harga minyak sudah mulai turun, daripada menimlbulkan kisruh politik, pemerintah melihat masih memiliki kapasitas fiskal yang baik sehingga memungkinkan memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ada.

Baca Juga: Komisi VII DPR Akan Panggil Menteri ESDM Soal Relaksasi Ekspor Konsentrat Tembaga

Namun, Tauhid menegaskan, kebijakan pembatasan pembelian BBM Subsidi harus segera dilaksanakan karena dikhawatirkan menjadi bom waktu jika sewaktu-waktu harga minyak kembali melonjak.

Selain soal pembatasan BBM Subsidi, perihal pelaksanaan iuran batubara sebagai upaya mendorong kepastian pasikan domestic market obligation (DMO) juga dinilai oleh Tauhid terus saja molor dilaksanakan.

Menurutnya, ketika harga komoditas batubara mulai turun, tidak setinggi tahun lalu,  maka penjualan batubara ke dalam negeri untuk sektor kelistrikan menjadi lebih masuk akal.

Tidak hanya di energi fosil, kebijakan di energi terbarukan juga kerap mengalami kendala. Tauhid mengingatkan agar pemerintah mulai tegas menggunakan energi baru terbarukan (EBT) sebagai sumber energi alternatif fosil.

Saat ini implementasi energi hijau seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), terganjal oleh permasalahan perusahaan milik negara sendiri.

Saat ini kebijakan PLTS Atap juga kembali dikaji dan direvisi karena dinilai akan membebani PT PLN. Maka itu, penerapan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 26 Tahun 2021 tentang PLTS atap belum bisa dilaksanakan sepenuhnya.

Di saat oversupply listrik, PLN tidak berani mengambil risiko semakin meningkatnya produksi listrik sebab akan membebani keuangan karena adanya kebijakan take or pay (TOP).

“Selain itu masalahnya juga pada kebijakan power wheeling yang terkendala di regulasi kita, jadi PLN menjadi pembeli tunggal listrik yang dihasilkan swasta,” jelasnya.

Tauhid menegaskan, penggunaan EBT memang dilaksanakan bertahap, tetapi harus dimulai sekarang. Jika tidak, akan sulit mengejar target net zero emission.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×