kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45902,60   -24,13   -2.60%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: Relaksasi PPnBM mobil penumpang perlu memuat simulasi penghitungan insentif


Kamis, 18 Februari 2021 / 16:49 WIB
Pengamat: Relaksasi PPnBM mobil penumpang perlu memuat simulasi penghitungan insentif
ILUSTRASI. Karyawan menjelaskan salah satu produk mobil kepada calon pembeli. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerapan insentif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk mobil penumpang tinggal menunggu waktu. Mulai Maret 2021 nanti, pemerintah berencana memberikan insentif berupa relaksasi PPnBM sebesar 100% pada 3 bulan pertama, 50% di 3 bulan kedua, dan 25% di 3 bulan ketiga dengan skema ditanggung pemerintah atau (DTP). 

Target insentif ini menyasar segmen mobil dengan kapasitas sampai dengan 1500 cc, berkategori sedan dan 4x2, dengan local purchase di atas 70%. Pemberian insentif bertujuan untuk mendongkrak penjualan mobil dan menggairahkan industri otomotif nasional.

Insentif relaksasi PPnBM mendapat sorotan dari sejumlah pengamat. Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH), Ronny Boko mengatakan, regulasi insentif PPnBM yang tengah digodok perlu menjabarkan simulasi penghitungan insentif PPnBM secara jelas.

Ketiadaan simulasi penghitungan insentif relaksasi PPnBM mobil penumpang dalam regulasi berpotensi menimbulkan perbedaan tafsir  antara wajib pajak (WP), dalam hal ini pelaku industri otomotif, dengan kantor pajak. “Di regulasi itu harus ada simulasinya, sehingga orang tidak menerka-nerka,” ujar Ronny saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (18/2).

Seperti diketahui, PPnBM merupakan salah satu dari beberapa komponen harga on the road pembelian mobil baru. Sedianya, konsumen dikenakan tarif PPnBM sebesar 10%-125% ketika melakukan pembelian mobil baru.

Baca Juga: AAUI harap potongan PPnBM mobil bisa kerek asuransi kendaraan bermotor

Ketentuan tarif tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 33 Tahun 2017 tentang Jenis Kendaraan Bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pemberian Pembebasan dari Pengenaan Pajak atas Pengenaan Penjualan atas Barang Mewah yang merupakan perubahan atas beleid sebelumnya yakni, PMK No. 64 Tahun 2014.

Jumlah PPnBM dihitung dengan cara mengalikan persentase tarif PPnBM dengan dasar pengenaan pajak atawa DPP. Menurut PMK No. 64 Tahun 2014, DPP merupakan jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.

Baik PMK No. 64 Tahun 2014 maupun PMK Nomor 33 Tahun 2017 tidak merinci pengertian istilah ‘harga jual’ yang dimaksud. Penjelasan lebih rinci soal ‘harga jual’ dapat ditemui dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM. 

Menurut beleid tersebut, harga jual merupakan nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang tersebut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Di sinilah potensi perbedaan tafsir berpeluang muncul. Menurut Ronny, pengertian ‘biaya’ dalam penghitungan DPP berpotensi ditafsirkan secara berbeda-beda. Hal  ini diperumit dengan banyaknya varian mobil yang ada di pasar otomotif domestik, sebab penghitungan biaya maupun DPP pada satu mobil yang sama, misal Avanza, dengan tipe yang berbeda bisa sangat beragam.

“Kadang-kadang menurut WP (sebuah variabel) bisa dilihat sebagai biaya, sehingga dapat dikurangkan (dalam skema insentif relaksasi), tapi menurut kantor pajak ini bukan biaya, jadi dispute-nya sering disitu, untuk DPP antara biaya dan non biaya,” terang Ronny.




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×