Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
Mukhtasor berpendapat, jika pemerintah memberikan kompensasi atau insentif, jangan diberikan di hilir, namun di hulu. Caranya dengan menurunkan biaya modal. Di hulu industri pemasok PLTS diberikan kompensasi, akhirnya kalau pasang PLTS Atap harganya lebih murah Dan PLN tidak akan diganggu.
“Jangan sampai nasib EBT ke depan seperti migas. Kalau migas kemandirian energi itu tidak tampak. Itulah yang dipesankan oleh Bung Hatta yang namanya pembangunan negara dan capital makin lama makin besar,” kata dia.
Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence Sunarsip menjelaskan, kondisi pasokan listrik di Jawa dan Bali sebenarnya over capacity. Kalau muncul istilah gagasan baru dengan mengembangkan EBT, apalagi PLTS Atap, harus diperhitungkan kondisi kelebihan pasokan yang terjadi saat ini.
“Jangan sampai pengembangan masif PLTS A malah membebani PLN dan keuangan negara. Yang menjadi catatan bahwa sebenarnya target rencana induk energi disusun dengan asumsi yang optimistis, padahal realisasinya kita tidak pernah mengalami pertumbuhan ekonomi sampai 7%,” ungkap Sunarsip dalam kesempatan yang sama.
Menurut dia, biasanya dalam industri listrik itu dibuat lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Namun kenyataannya saat ini konsumsi listrik sudah jauh di bawah pertumbuhan ekonomi. Dengan kondisi tersebut, jangan sampai yang sedang dipersiapkan pemerintah untuk pengembangan EBT malah menambah beban untuk pelaku industri lain.
Baca Juga: Indonesia harus merdeka dari ketergantungan energi fosil
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Chrisnawan mengungkapkan prinsip yang dipegang pemerintah sebagai regulator harus imbang. Bahwa regulasi itu tidak bisa memuaskan semua pihak, ketika timbangan lebih berat ke utility, akan ada reaksi dari pihak lain.
Dia juga menyanggah bahwa revisi permen PLTS Atap bahwa harga ekspor-impor listrik akan naik dari 65% ke 100%. “PLTS Atap tidak untuk diperjualbelikan, yang kita tingkatkan adalah nilai ekspornya,” kata dia.
Menurut dia, berdasarkan survei, nilai ekspor dari PLTS Atap adalah 20% lalu dikalikan 100%. Pengguna PLTS Atap pasti akan menggunakan untuk sendiri lebih dulu, sisanya diekspor. “
Apakah nanti pendapatan PLN berkurang, sudah kami lakukan kajian. Memang pendapatan PLN akan turun,” jelas Chrisnawan.
Sementara itu, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya W Yudha mengatakan, dalam konteks penurunan emisi karbon, lanjut dia, kalau yang berpartisipasi banyak otomatis penggunaan energi yang masih campuran tadi berkurang.
Menurut Satya, pengembangan PLTS Atap demi memajukan industri. Menurutnya, ada beberapa hal yang menyangkut PLN bahwa tugas kenegaraan dipisahkan dari tugas industri murni. Selain itu, sekarang PLN pun sudah menganut sistem contracted take or pay. Ini pun dinilai menjadi hal yang tidak mudah.
Selanjutnya: IPA Convex 2021 tekankan visi energi Indonesia masa Post-Pandemic
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News