kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pengembangan PLTS Atap diharapkan tak bebani APBN dan PLN


Kamis, 19 Agustus 2021 / 18:35 WIB
Pengembangan PLTS Atap diharapkan tak bebani APBN dan PLN
ILUSTRASI. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap


Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap diharapkan tak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan PT Perusahaan Listrik Negara.

Mantan Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014) Mukhtasor mengungkapkan, rencana revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh konsumen PLN, khususnya ketentuan rasio ekspor-impor listrik dari 65% menjadi 100% berpotensi membebani PLN.

Menurutnya, listrik jika dititipkan harus bayar karena masuk ke jaringan PLN pada siang hari dan baru akan digunakan pada malam hari. 

“Kalau di jaringan PLN harus bayar. Padahal salah satu misi BUMN itu untuk keuntungan. Kalau yang diuntungkan sebagian, maka tidak akan berlangsung lama,” kata Mukhtasor dalam Webinar “Curah Pendapat” bertema  Roadmap Pengembangan EBT di Indonesia yang digelar Energy and Mining Editor Society (E2S) secara virtual, Kamis (19/8). 

Baca Juga: Butuh tenaga kerja mumpuni menuju transisi energi baru terbarukan (EBT)   

Mukhtasor mengaku telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM yang mengusulkan untuk mencari jalan tengah. Pasalnya, PLTS Atap penggunaan mahal, namun pemakaian sedikit. Kondisi ini bisa membuat portofolio PLN tidak bagus. 

“Persoalan di PLN justru kontribusinya bukan di PLN itu sendiri, tapi ada dari IPP (Independent Power Producer), sponsor dan lainnya. Untuk IPP feed in tarif maka harga akan naik dan ada risiko over supply,” sambung Mukhtasor. 

Menurut Mukhtasor, jika selisih harga listrik PLTS Atap dibayar oleh APBN itu akan membebani. Kalau asumsinya negara mampu, APBN harus dialokasikan untuk investasi EBT. “Khusus PLTS Atap saya sampaikan ke Presiden ada jalan tengah bagi semua pemangku kepentingan dan menjadi model gotong royong sebagai bangsa,” ujarnya. 

Untuk itu, ia berharap pemerintah mengambil solusi yang komprehensif dan tidak parsial agar tidak membebani negara nantinya.

Mukhtasor berpendapat, jika pemerintah memberikan kompensasi atau insentif, jangan diberikan di hilir, namun di hulu. Caranya dengan menurunkan biaya modal. Di hulu industri pemasok PLTS diberikan kompensasi, akhirnya kalau pasang PLTS Atap harganya lebih murah Dan PLN tidak akan diganggu. 

“Jangan sampai nasib EBT ke depan seperti migas. Kalau migas kemandirian energi itu tidak tampak. Itulah yang dipesankan oleh Bung Hatta yang namanya pembangunan negara dan capital makin lama makin besar,” kata dia. 

Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence Sunarsip menjelaskan, kondisi pasokan listrik di Jawa dan Bali sebenarnya over capacity. Kalau muncul istilah gagasan baru dengan mengembangkan EBT, apalagi PLTS Atap,  harus diperhitungkan kondisi kelebihan pasokan yang terjadi saat ini.

“Jangan sampai  pengembangan masif PLTS A malah membebani PLN dan keuangan negara. Yang menjadi catatan bahwa sebenarnya target rencana induk energi disusun dengan asumsi yang optimistis, padahal realisasinya kita tidak pernah mengalami pertumbuhan ekonomi sampai 7%,” ungkap Sunarsip dalam kesempatan yang sama.

Menurut dia, biasanya dalam industri listrik itu dibuat lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Namun kenyataannya saat ini konsumsi listrik sudah jauh di bawah pertumbuhan ekonomi. Dengan kondisi tersebut, jangan sampai yang sedang dipersiapkan pemerintah untuk pengembangan EBT malah menambah beban untuk pelaku industri lain. 

Baca Juga: Indonesia harus merdeka dari ketergantungan energi fosil

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Chrisnawan mengungkapkan prinsip yang dipegang pemerintah sebagai regulator harus imbang. Bahwa regulasi itu tidak bisa memuaskan semua pihak, ketika timbangan lebih berat ke utility, akan ada reaksi dari pihak lain. 

Dia juga menyanggah bahwa revisi permen PLTS Atap bahwa harga ekspor-impor listrik akan naik dari 65% ke 100%. “PLTS Atap tidak untuk diperjualbelikan, yang kita tingkatkan adalah nilai ekspornya,” kata dia. 

Menurut dia, berdasarkan survei, nilai ekspor dari PLTS Atap adalah 20% lalu dikalikan 100%. Pengguna PLTS Atap pasti akan menggunakan untuk sendiri lebih dulu, sisanya diekspor. “

Apakah nanti pendapatan PLN berkurang, sudah kami lakukan kajian. Memang pendapatan PLN akan turun,” jelas Chrisnawan.

Sementara itu, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya W Yudha mengatakan, dalam konteks penurunan emisi karbon, lanjut dia, kalau yang berpartisipasi banyak otomatis penggunaan energi yang masih campuran tadi berkurang. 

Menurut Satya, pengembangan PLTS Atap demi memajukan industri. Menurutnya,  ada beberapa hal yang menyangkut PLN bahwa tugas kenegaraan dipisahkan dari tugas industri murni. Selain itu, sekarang PLN pun sudah menganut sistem contracted take or pay. Ini pun dinilai menjadi hal yang tidak mudah.

Selanjutnya: IPA Convex 2021 tekankan visi energi Indonesia masa Post-Pandemic

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×