Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengusaha tambang batubara yang tergabung dalam Indonesian Mining Association (IMA) atau Asosiasi Pertambangan Indonesia dan Indonesian Coal Mining Association atau Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) buka suara soal insentif ideal yang bisa diberikan pemerintah, utamanya melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menggerakkan proyek hilirisasi batubara dalam bentuk Dimethyl Ether (DME) sebagai substitusi dari Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Direktur Eksekutif IMA, Hendra Sinadia, misalnya menyebut dalam Peraturan Pemerintah (PP) 39 Tahun 2025 tentang pelaksanaan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba), terdapat kesempatan bagi pemilik Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk merevisi rencana Peningkatan Nilai Tambah (PNT).
"Insentif dari pemerintah untuk memastikan perusahaan dapat melaksanakan revisi tersebut adalah dengan mengizinkan perusahaan melakukan penyesuaian antara lain nilai investasi yang lebih kecil dan masuk akal yang dapat dibiayai oleh perusahaan," ungkap Hendra kepada Kontan, Kamis (11/12/2025).
Menurut Hendra, PNT batubara dapat dikategorikan sebagai industri pionir yang menghadapi banyak ketidakpastian, baik dari sisi teknologi, pendanaan, dan faktor keekonomian.
Baca Juga: Perhapi Sebut Insentif Belum Bisa Dorong Keberhasilan Proyek DME Batubara
"Insentif yang paling diharapkan bagi pelaku usaha ialah adanya kepastian hukum yaitu aturan pelaksanaan atas pemberian insentif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) PNBP 0%, tax holiday, kemudahan perizinan," jelas Hendra.
Menurutnya, ketiga jenis insentif ini akan sangat membantu perusahaan dalam menyusun dan melaksanakan kewajiban PNT batubara.
"Selain itu, konsistensi regulasi juga sangat penting mengingat proyek investasi PNT batubara itu selain padat modal juga bersifat jangka panjang," tambahnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif APBI, Gita Mahyarani, menyebut insentif memang memiliki peluang untuk meningkatkan kelayakan proyek hilirisasi batubara ini, tetapi keberhasilannya tetap sangat bergantung pada keekonomian keseluruhan.
"Karena itu, insentif hanya akan efektif jika benar-benar mampu menutup gap keekonomian tersebut secara berkelanjutan," kata dia.
"Pada intinya, insentif harus langsung menyasar variabel biaya utama yang menghambat keekonomian proyek," tambahnya.
Adapun terkait kebutuhan penambang dan jenis insentif yang akan diberikan pemerintah, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, menilai insentif juga bisa diberikan pada offtaker atau pembeli DME.
Baca Juga: Danantara Kebut Kajian Kelayakan Proyek Gasifikasi Batubara Jadi DME
"Jika ada tambahan insentif bisa dalam bentuk perhitungan pajak yang menarik, insentif harga dan jaminan pembelian produk, serta terkait dengan kemudahan perizinan," kata dia.
Sebelumnya, dalam catatan Kontan, Menteri ESDM sekaligus Ketua Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, Bahlil Lahadalia, menargetkan proyek DME bisa mulai dibangun pada 2026.
Proyek DME ini termasuk dalam 18 proyek hilirisasi strategis yang tengah difinalisasi oleh Satgas tersebut. Adapun proyek ini diharapkan dapat menekan impor LPG yang mencapai 6,5–7 juta ton per tahun.
Dengan lokasi proyek yang dibidik untuk tahap pertama berada di 6 lokasi berbeda yaitu: Muara Enim (Sumatera Selatan), Bulungan (Kalimantan Utara), Kutai Timur (Kalimantan Timur), Kotabaru (Kalimantan Selatan), Pali (Sumatera Selatan), dan Banyuasin (Sumatera Selatan).
Selanjutnya: GARDA Soroti Ketimpangan dalam Skema BPJS GoTo untuk Pengemudi
Menarik Dibaca: 6 Manfaat Tinted Lip Balm Bukan Sekadar Pelembab Bibir
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













