Reporter: Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Johana K.
Menjelang pasar bebas seiring berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akhir 2015, pemerintah harus banyak berbenah. Utamanya, jangan sampai Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang besar ini hanya menjadi pasar pagi produk-produk impor. Oleh karena itu, jauh-jauh hari, pengusaha mengingatkan pemerintah baru untuk melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menciptakan iklim dagang yang sehat.
Subronto Laras, Presiden Komisaris PT Indomobil Sukses Internasional Tbk (IMAS) berpesan kepada pemerintah mendatang agar berhati-hati dan memanfaatkan potensi sebaik-baiknya mengenai masyarakat ekonomi ASEAN. "Saat MEA pasar Asia Tenggara jadi tunggal dan menjadi sangat besar. Ini harus hati-hati, jangan sampai menjadi negara tujuan impor, tapi kita harus ekspor keluar juga," ujar Subronto pada KONTAN, Kamis (17/10).
Namun dia mengingatkan industri dalam negeri sendiri belum mandiri dalam menyediakan bahan baku. "Seperti di industri otomotif saja misalnya, kita bisa bikin mobil, tapi pelat bajanya impor. Jangan, sampai kita jadi negara tujuan impor bahan baku dan impor barang jadi," ujar Subronto.
Ia mengatakan solusi untuk ketergantungan bahan baku sendiri, itu masalah lintas sektoral antar kementerian. "Tidak bisa dilihat dari satu aspek saja, kemenperin punya policy untuk kembangkan industri, tapi bahan baku sulit. Ini perlu koordinasi lintas kemernterian," ujar bos Suzuki ini.
Tak jauh beda, Irvan Kamal Hakim, Presiden Direktur PT Krakatau Steel (persero) Tbk menuturkan, jika Indonesia ingin maju sektor industrinya, maka industri baja nasional harus diperkuat. "Kita lihat Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Amerika, mereka sudah membangun pabrik bajanya sejak awal abad 20. Hasilnya sekarang industri manufaktur mereka sangat maju. sedang di Indonesia baru mulai dirintis 1970-an dan sampai sekarang belum banyak perkembangan." ujar Irvan.
Seperti diketahui, baja seringkali disebut sebagai induk segala industri, pasalnya baja diperlukan untuk membangun infrastruktur, konstruksi, galangan kapal, transportasi. Produk industri turunannnya atau industri hilirnya dapat menjadi bahan baku pembangunan seperti seng, paku, kawat, alumunium, dan lain-lain.
Irvan juga mengingatkan pemerintah agar terlebih dahulu membenahi pasokan bahan baku industri agar tidak terlalu bergantung pada impor. "Jika ekonomi dipacu 6%-7% neraca perdagangan Indonesia bisa overheat [kelebihan beban], karena industri masih bergantung impor. Jadi benahi dulu pasokan bahan baku agar tak bergantung dengan impor, baru bisa kita pacu pertumbuhan ekonomi," ujar Irvan yang juga merupakan ketua dari Indonesia Iron and Steel Association Industries.
Budi Susanto Sadiman, Wakil Ketua Umum Pengembangan Bisnis Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik (Inaplas) mengatakan pekerjaan rumah untuk pemerintah mendatang adalah soal infrastruktur, energi dan pasokan bahan baku industri serta pangan. Infrastruktur perlu ditingkakan untuk menekan beban logistik dan distribusi. "Untuk energi, sudah betul UU Minerba itu jangan kita ekspor mentah-mentah. Tapi untuk penuhi pasokan dalam negeri dahulu, karena bisa hasilkan nilai tambah," ujar Budi.
Budi juga menyoroti soal ketergantungan bahan baku industri yang masih bergantung dari impor. Maka dari itu UU Minerba sudah betul, karena industrinya, yaitu industri petrokimia itu memiliki bahan baku naphta yang 80%-100% masih impor. Dengan mengalokasikan minyak ke dalam negeri, bisa diolah sehngga bisa mengurangi impor naphta dalam negeri.
Ia juga mengatakan pemerintah baru juga harus meningkatkan produksi dan ketahanan pangan nasional. "Selain itu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, peningkatan produksi pangan juga bisa meningkatkan omzet industri kemasan dan plastik," ujar Budi.
Budi optimistis dengan hadirnya pemerintahan baru, melihat track record Jokowi dan Jusuf Kalla yang baik. "Kami berharap banyak pada pemerintah baru. Harapan kami ekonomi Indonesia bisa tumbuh 6%-7% sesuai target MP3EI," ujar Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News