Reporter: Handoyo | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Peraturan Menteri Kelautan Kelautan dan Perikanan (Permen KKP) No 57 tahun 2014 tentang perubahan kedua atas Permen KKP No 30 tahun 2012 menimbulkan polemik baru disektor penangkapan ikan tangkap.
Dalam beleid tentang usaha perikanan tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) tersebut, para pengusaha penangkapan ikan mengeluhkan aturan yang melarang alih muatan atau transhipment di tengah laut.
Ketua Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Eddy Yuwono mengatakan, secara prinsip pihaknya mendukung penerapan kebijakan tersebut. Namun, yang menjadi persoalan adalah terkait kapal pengangkut yang tergabung dalam satuan armada yamg melakukan alih muatan di tengah laut untuk ditujukan ke Unit Pengolahan Ikan (UPI), bukan langsung diekspor.
Dengan adanya revisi kebijakan larangan alih muatan tersebut mengakibatkan biaya atau cost produksi perusahaan pengkapan ikan menjadi membengkak. "Tolong dipilah-pilah. Jangan dipukul rata, kita pengusaha nasional kena dampaknya," kata Eddy, Selasa (2/12).
Eddy mengklaim dari anggota Astuin yang jumahnya mencapai 900 kapal, seluruh hasil tangkapannya didaratkan ke dalam negeri dan tidak ada yang langsung di ekspor. Namun, untuk lebih menghemat biaya, maka kapal pengangkap ikan tersebut tidak langsung mendaratkan sendiri.
Dalam praktek di lapangan, pendaratan ikan yang dilakukan oleh anggota Astuin ada dua cara. Pertama, melakukan titip angkut dari kapal tangkap lain yang mau mendarat. Kedua, menitipkan hasil tangkapan ke kapal khusus angkut. Dalam menitipkan hasil tangkapan tersebut, sudah ada hitung-hitungan biayanya.
Eddy bilang, bila praktek alih muatan tersebut tidak diperbolehkan lagi maka penangkapan ikan tidak akan mampu mencapai perairan jauh. Kapal hanya akan bergerak di perairan dekat karena memperhitungkan tingginya biaya bahan bakar minyak (BBM) yang harus ditanggung.
Sekedar mencontohkan, kapal penangkap ikan untuk satu hari operasi membutuhkan BBM sebanyak 1 ton. Padahal, bila kapal penngkap tersebut dapat melakukan alih muatan di laut maka akan menekan biaya operasional hingga 40%-50%, dibandingkan harus langsung kembali ke darat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News