Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Kebingungan industri soal limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) masih terus bergulir sampai saat ini. Padahal sudah sejak awal 2012 masalah limbah mengganggu pasokan bahan baku pelaku usaha.
Memang pemerintah sedang menggodok RPP Limbah B3 yang diinisasi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Namun pada penyusunannya, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Shinta W Kamdani bilang justru isinya kontraproduktif dengan kebijakan soal limbah yang berlaku di negara lain.
Misalnya limbah industri yang masih bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku, namun digeneralisir sebagai limbah berbahaya. Padahal di negara lain dikategorikan sebagai bahan baku."Selalu masalahnya di situ," kata dia, Selasa (28/1).
Menurut Shinta, pihaknya kini sedang berusaha mengharmonisasikan aturan termasuk klasifikasi limbah B3 kepada KLH agar nantinya Peraturan Pemerintah soal limbah B3 tak lagi merugikan dunia usaha.
Sebelumnya Ketua Indonesia Iron and Steel Industry Assosiation (IISIA) Irvan K Hakim bilang akibat ketidakjelasan klasifikasi limbah B3 ini tidak sedikit produsen baja yang dinilai melanggar lingkungan sejak 2012 lalu. "Ada banyak kasus, sekitar 12 industri baja kena pidana," ujarnya.
Padahal para pelaku industri itu hanya mengimpor scrap yang memang merupakan besi bekas tapi sudah biasa digunakan sebagai bahan baku di negara manapun. Akibatnya sejak 2012 lalu produksi baja terhambat.
Sementara Kepala Badan Pengkajian Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian Arryanto Sagala bilang pihaknya akan menjembatani langkah harmonisasi limbah B3 ini dengan para pemangku kepentingan. "Ini baru mau kita kirim surat kepada Kementerian Lingkungan Hidup, agar ada pertemuan untuk melakukan harmonisasi," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News