kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengusaha tekstil minta UU Ketenagakerjaan dilonggarkan, ini poin-poin usulannya


Kamis, 19 September 2019 / 21:21 WIB
Pengusaha tekstil minta UU Ketenagakerjaan dilonggarkan, ini poin-poin usulannya
ILUSTRASI. Pengusaha tekstil menilai sejumlah poin di UU Ketenagakerjaan mengurangi daya saing produk tekstil Indonesia.


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Khomarul Hidayat

Selanjutnya, API juga mengusulkan agar ketentuan usia 18 tahun sebagai usia minimum untuk pekerja yang ada di UU ketenagakerjaan bisa diturunkan menjadi 17 tahun..

Anne mengatakan bahwa sebagian besar lulusan SMA dan SMK yang siap kerja di Indonesia umumnya berusia 17 tahun. Namun demikian, pelaku industri TPT dalam negeri tidak bisa memberdayakan angkatan kerja tersebut lantaran tidak diizinkan oleh undang-undang.

Berikutnya, API juga mengusulkan agar ketentuan mengenai upah lembur dapat dilakukan dengan mengacu kepada sistem flat rate dengan besaran yang sama setiap jamnya.

Baca Juga: Bukan masalah upah, ini penyebab PHK di industri tekstil

Sementara itu, ketentuan yang berlaku saat ini mengharuskan pengusaha untuk membayar upah lembur pekerja dengan rate yang berbeda setiap beberapa jam.

Untuk kerja lembur yang dilakukan pada hari kerja misalnya, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 102 MEN VI 2004 menyebutkan bahwa pengusaha wajib membayar upah lembur karyawan sebesar 1,5 kali upah sejam pada satu jam pertama.

Besaran ini selanjutnya naik menjadi sebesar dua kali upah sejam pada jam-jam lembur berikutnya. Ketentuan yang demikian dinilai memberatkan bagi pelaku industri TPT dalam negeri.

Sementara itu, untuk ketentuan mengenai pesangon API mengusulkan agar pesangon dimasukkan ke dalam BPJS Ketenagakerjaan.

Selain menyoroti ketentuan yang ada di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, API juga menyoroti persoalan biaya energi yang dibebankan kepada pelaku industri TPT dalam negeri.

Menurut Ade, biaya energi sebesar US$ 11 sen per Kwh yang berlaku di Indonesia dinilai membuat produk TPT menjadi kurang kompetitif secara harga.

Pasalnya, beberapa negara lain memiliki beban biaya energi yang lebih murah bila dibanding Indonesia. Ambil contoh Vietnam dan Bangladesh misalnya.

Berdasarkan keterangan Ade, biaya energi listrik di Vietnam dan Bangladesh hanya sebesar US$ 6 sen per Kwh. Sementara itu, China memiliki besaran energi yang sama dengan Indonesia, yakni sebesar US$ 11 sen per Kwh. Namun ada diskon yang diberikan oleh Pemerintah China sehingga membuat pelaku industri di Cina hanya perlu membayar US$ 8 sen per Kwh apabila dirata-ratakan.

Baca Juga: Tahun 2020, Indonesia menjadi kiblat fesyen muslim dunia

Hal ini membuat produk-produk TPT dari negara-negara seperti Vietnam, Bangladesh, dan China menjadi memiliki keunggulan dari segi harga bila dibandingkan dengan Indonesia lantaran memiliki beban biaya energi yang lebih rendah.




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×