kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengusaha tekstil minta UU Ketenagakerjaan dilonggarkan, ini poin-poin usulannya


Kamis, 19 September 2019 / 21:21 WIB
Pengusaha tekstil minta UU Ketenagakerjaan dilonggarkan, ini poin-poin usulannya
ILUSTRASI. Pengusaha tekstil menilai sejumlah poin di UU Ketenagakerjaan mengurangi daya saing produk tekstil Indonesia.


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Khomarul Hidayat

Sementara itu, biaya energi memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam beban pokok pelaku industri TPT. Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Pemerintah API Iwan S. Lukminto, kontribusi biaya energi dalam beban pokok pelaku industri cukup beragam, bergantung kepada bentuk industrinya.

Namun demikian, apabila dirata-ratakan, kontribusi biaya energi dalam total beban pokok pelaku industri TPT bisa mencapai 15%-20%.

Oleh karena itu, API berharap biaya energi gas maupun listrik yang dibebankan kepada pelaku industri TPT setidaknya bisa disamakan dengan biaya energi di negara-negara kompetitor.

Baca Juga: Produsen Tekstil Mengajukan Safeguard untuk Menghalau Serbuan Impor

Aspirasi yang disuarakan API ini mendapatkan dukungan dari para pelaku indusri TPT.

PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLV) misalnya, menilai isu mengenai pengaturan lembur menjadi salah satu isu yang dianggap paling penting. Dalam hal ini, POLY mengusulkan agar ketentuan lembur tidak semata-mata didasarkan pada lamanya waktu bekerja saja, akan tetapi juga memperhatikan aspek produktivitas.

Assistant President Director Corporate Communications POLY Prama Yudha Amdhan mengatakan, selama ini POLY terpaksa harus memberi upah lembur terhadap pekerjanya yang terpaksa melakukan kerja lembur lantaran belum menyelesaikan target pekerjaan harian yang sebelumnya telah disepakati dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Prama menilai bahwa jam tambahan tersebut sudah sepatutnya dilakukan oleh pekerja yang bersangkutan karena memang sudah disepakati sebagai target pekerjaan harian dalam PKB sebelumnya.

Namun demikian, POLY menjadi terpaksa memperhitungkan pekerjaan tambahan tersebut sebagai kerja lembur lantaran dilakukan di luar jam kerja yang ditentukan.

Masih terkait lembur, POLY juga mengusulkan agar hari libur nasional yang ada bisa dikompensasikan dan diganti di hari lain. Menurut Prama, kegiatan industri TPT di bagian hulu memiliki karakteristik khusus yang mengharuskan pelaku industri untuk terus melakukan kegiatan operasional selama tujuh kali 24 jam setiap minggunya.

Baca Juga: Pelaku usaha industri tekstil sepakat mengajukan safeguard produk TPT

Sementara itu, ketentuan mengenai lembur yang berlaku saat ini mengharuskan pengusaha untuk memperhitungkan pekerjaan yang dilakukan di tanggal merah sebagai kerja lembur. Oleh karenanya, POLY terpaksa harus mengeluarkan ongkos yang lebih besar untuk memastikan agar kegiatan operasional produksi bisa terus berjalan.

Padahal, POLY menilai bahwa jatah libur tersebut tetap bisa diberikan dengan menggeser tanggal libur ke hari-hari lain ketika pabrik tidak melakukan kegiatan operasional seperti ketika sedang di masa overhaul misalnya.

Berbeda dengan POLY, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) lebih menekankan isu mengenai jam kerja dalam aspirasi yang disampaikan oleh API. SRIL menilai ketentuan jumlah jam kerja yang ada di Indonesia membuat industri TPT dalam negeri menjadi kurang konpetitif dibandingkan dengan negara kompetitor.

“Kalau Vietnam kan sekarang 8 jam lebih banyak dari kita, kalau kita 40 jam mereka 48 jam. Jadi kita harus menyesuaikan agar bisa bersaing,“ terang Head Communication SRIL, Joy Citra Dewi kepada Kontan.co.id (19/09).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×