Reporter: Muhammad Julian | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) terus berupaya menggenjot ekspor tesktil dan produk tekstil (TPT). Targetnya, ekspor TPT bisa mencapai US$ 14,6 miliar di tahun 2020 dan US$ 48,2 miliar di tahun 2030.
Sayangnya, ketentuan regulasi undang-undang dan turunannya yang ada dinilai masih menghambat pelaku industri TPT berkembang lebih jauh dan meningkatkan ekspor.
“Kalau kita telusuri, undang-undang kita baik ketenagakerjaan, undang-undang energi, undang-undang segala macam membelenggu kaki kami supaya tidak bisa lari,” ujar Ketua Umum API Ade Sudrajat ketika ditemui usai acara Konferensi Pers API pada Kamis (19/09).
Baca Juga: Trisula Internastional sebut UU Ketenagakerjaan yang ada sudah ideal
Terdapat empat ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjadi sorotan utama API. Yakni ketentuan mengenai jam kerja dalam seminggu, usia minimum pekerja, biaya lembur, dan pesangon.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Luar Negeri API Anne P. Susanto mengatakan bahwa ketentuan jam kerja dalam seminggu yang berlaku di Indonesia lebih rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara industri TPT lainnya yang menjadi kompetitor Indonesia.
Dalam Pasal 77 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa setiap pengusaha wajib melakukan ketentuan waktu kerja sebanyak 40 jam dalam satu minggu. Ketentuan jam kerja tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan beberapa negara lain seperti Vietnam, Tiongkok, dan negara-negara lainnya yang memiliki ketentuan jam kerja hingga 48 jam.
Baca Juga: Besaran safeguard tekstil dan produk tekstil (TPT) belum disepakati
Hal ini dinilai menghambat produktivitas pelaku industri TPT sehingga API berharap pemerintah dapat melonggarkan ketentuan waktu kerja menjadi 45 hingga 48 jam setiap minggunya.
Selanjutnya, API juga mengusulkan agar ketentuan usia 18 tahun sebagai usia minimum untuk pekerja yang ada di UU ketenagakerjaan bisa diturunkan menjadi 17 tahun..
Anne mengatakan bahwa sebagian besar lulusan SMA dan SMK yang siap kerja di Indonesia umumnya berusia 17 tahun. Namun demikian, pelaku industri TPT dalam negeri tidak bisa memberdayakan angkatan kerja tersebut lantaran tidak diizinkan oleh undang-undang.
Berikutnya, API juga mengusulkan agar ketentuan mengenai upah lembur dapat dilakukan dengan mengacu kepada sistem flat rate dengan besaran yang sama setiap jamnya.
Baca Juga: Bukan masalah upah, ini penyebab PHK di industri tekstil
Sementara itu, ketentuan yang berlaku saat ini mengharuskan pengusaha untuk membayar upah lembur pekerja dengan rate yang berbeda setiap beberapa jam.
Untuk kerja lembur yang dilakukan pada hari kerja misalnya, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 102 MEN VI 2004 menyebutkan bahwa pengusaha wajib membayar upah lembur karyawan sebesar 1,5 kali upah sejam pada satu jam pertama.
Besaran ini selanjutnya naik menjadi sebesar dua kali upah sejam pada jam-jam lembur berikutnya. Ketentuan yang demikian dinilai memberatkan bagi pelaku industri TPT dalam negeri.
Sementara itu, untuk ketentuan mengenai pesangon API mengusulkan agar pesangon dimasukkan ke dalam BPJS Ketenagakerjaan.
Selain menyoroti ketentuan yang ada di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, API juga menyoroti persoalan biaya energi yang dibebankan kepada pelaku industri TPT dalam negeri.
Menurut Ade, biaya energi sebesar US$ 11 sen per Kwh yang berlaku di Indonesia dinilai membuat produk TPT menjadi kurang kompetitif secara harga.
Pasalnya, beberapa negara lain memiliki beban biaya energi yang lebih murah bila dibanding Indonesia. Ambil contoh Vietnam dan Bangladesh misalnya.
Berdasarkan keterangan Ade, biaya energi listrik di Vietnam dan Bangladesh hanya sebesar US$ 6 sen per Kwh. Sementara itu, China memiliki besaran energi yang sama dengan Indonesia, yakni sebesar US$ 11 sen per Kwh. Namun ada diskon yang diberikan oleh Pemerintah China sehingga membuat pelaku industri di Cina hanya perlu membayar US$ 8 sen per Kwh apabila dirata-ratakan.
Baca Juga: Tahun 2020, Indonesia menjadi kiblat fesyen muslim dunia
Hal ini membuat produk-produk TPT dari negara-negara seperti Vietnam, Bangladesh, dan China menjadi memiliki keunggulan dari segi harga bila dibandingkan dengan Indonesia lantaran memiliki beban biaya energi yang lebih rendah.
Sementara itu, biaya energi memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam beban pokok pelaku industri TPT. Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Pemerintah API Iwan S. Lukminto, kontribusi biaya energi dalam beban pokok pelaku industri cukup beragam, bergantung kepada bentuk industrinya.
Namun demikian, apabila dirata-ratakan, kontribusi biaya energi dalam total beban pokok pelaku industri TPT bisa mencapai 15%-20%.
Oleh karena itu, API berharap biaya energi gas maupun listrik yang dibebankan kepada pelaku industri TPT setidaknya bisa disamakan dengan biaya energi di negara-negara kompetitor.
Baca Juga: Produsen Tekstil Mengajukan Safeguard untuk Menghalau Serbuan Impor
Aspirasi yang disuarakan API ini mendapatkan dukungan dari para pelaku indusri TPT.
PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLV) misalnya, menilai isu mengenai pengaturan lembur menjadi salah satu isu yang dianggap paling penting. Dalam hal ini, POLY mengusulkan agar ketentuan lembur tidak semata-mata didasarkan pada lamanya waktu bekerja saja, akan tetapi juga memperhatikan aspek produktivitas.
Assistant President Director Corporate Communications POLY Prama Yudha Amdhan mengatakan, selama ini POLY terpaksa harus memberi upah lembur terhadap pekerjanya yang terpaksa melakukan kerja lembur lantaran belum menyelesaikan target pekerjaan harian yang sebelumnya telah disepakati dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Prama menilai bahwa jam tambahan tersebut sudah sepatutnya dilakukan oleh pekerja yang bersangkutan karena memang sudah disepakati sebagai target pekerjaan harian dalam PKB sebelumnya.
Namun demikian, POLY menjadi terpaksa memperhitungkan pekerjaan tambahan tersebut sebagai kerja lembur lantaran dilakukan di luar jam kerja yang ditentukan.
Masih terkait lembur, POLY juga mengusulkan agar hari libur nasional yang ada bisa dikompensasikan dan diganti di hari lain. Menurut Prama, kegiatan industri TPT di bagian hulu memiliki karakteristik khusus yang mengharuskan pelaku industri untuk terus melakukan kegiatan operasional selama tujuh kali 24 jam setiap minggunya.
Baca Juga: Pelaku usaha industri tekstil sepakat mengajukan safeguard produk TPT
Sementara itu, ketentuan mengenai lembur yang berlaku saat ini mengharuskan pengusaha untuk memperhitungkan pekerjaan yang dilakukan di tanggal merah sebagai kerja lembur. Oleh karenanya, POLY terpaksa harus mengeluarkan ongkos yang lebih besar untuk memastikan agar kegiatan operasional produksi bisa terus berjalan.
Padahal, POLY menilai bahwa jatah libur tersebut tetap bisa diberikan dengan menggeser tanggal libur ke hari-hari lain ketika pabrik tidak melakukan kegiatan operasional seperti ketika sedang di masa overhaul misalnya.
Berbeda dengan POLY, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) lebih menekankan isu mengenai jam kerja dalam aspirasi yang disampaikan oleh API. SRIL menilai ketentuan jumlah jam kerja yang ada di Indonesia membuat industri TPT dalam negeri menjadi kurang konpetitif dibandingkan dengan negara kompetitor.
“Kalau Vietnam kan sekarang 8 jam lebih banyak dari kita, kalau kita 40 jam mereka 48 jam. Jadi kita harus menyesuaikan agar bisa bersaing,“ terang Head Communication SRIL, Joy Citra Dewi kepada Kontan.co.id (19/09).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News