Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA- Penyelesaian konflik lahan kelapa sawit yang masuk dalam kawasan hutan mendesak dilakukan. Pasalnya, hal ini dianggap sebagai pemicu utama deforestasi.
Karakteristik penguasaan lahan di lokasi berbeda dan sejarah perubahan regulasi pemerintah juga perlu menjadi pertimbangan dalam menuntaskan sengketa.
Baca Juga: Hingga September 2019, tercatat ada 64 kasus mafia tanah
Direktur SPOS Keragaman Hayati (Kehati) Irfan Bakhtiar mengatakan, ada beberapa opsi yang bisa dilakukan untuk penyelesaian konflik ini. Bisa melalui tim terpadu rencana tata ruang di wilayah provinsi (RT/RWP) atau pun bisa berupa penataan sawit di kawasan hutan serta pendataan dan reformasi agraria melalui perhutanan sosial.
Bagi Irfan, pengakuan bahwa tanaman kelapa sawit merupakan tanaman hutan juga bisa menjadi opsi. Kendati harus disadari kebijakan ini rawan menghadapi pertentangan dari sejumlah kalangan.
"Namun semua pihak perlu bekerjasama untuk menuntaskan persoalan sekitar 3,47 juta hektare (ha) kebun yang ditenggarai berada di kawasan hutan," kata Irfan dalam diskusi Pojok Iklim, Rabu (23/10).
Ia menambahkan, konflik lahan sawit ini tak terlepas dari kebersihan tanaman ini mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dan berdampak pada pergeseran budidaya terhadap sejumlah komoditas.
Sebelumnya, Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Prabianto Mukti Wibowo mengatakan, Pemerintah tengah mengkaji beberapa opsi seperti pelepasan kawasan serta pemberian izin legal (land amnesty) untuk menyelesaikan sengketa 3,17 juta hektare kebun sawit.
Baca Juga: MA menangkan anak usaha Bayan Resources (BYAN) dalam sengketa tanah
“Kita masih diskusikan dengan banyak pakar hukum agar kedepan tidak menjadi persoalan baru dan dapat dibakukan dalam bentuk regulasi,” kata Prabianto.
Menurut Prabianto, dalam mengambil keputusan, pemerintah akan mempertimbangkan banyak hal seperti historis adanya perubahan-perubahan regulasi pemerintah pada saat itu yang memungkinkan seseorang atau lembaga membangun kebun.
“Prinsipnya, kebijakan itu harus pro rakyat dan mampu meningkatkan kelembagaan petani sawit serta memastikan setiap perkebunan menerapkan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO),” kata dia.
Pengamat Hukum Kehutanan dan Lingkungan Sadino mengatakan, kebijakan izin satu daur penanaman sawit atau sekitar 35 tahun lebih dapat diterima masyarakat dibandingkan pemutihan, land amnesty dan sebagainya yang pada akhirnya sulit dieksekusi.
Kebijakan ini juga menunjukkan apresiasi pemerintah terhadap hak masyarakat yang telah berusaha secara legal dan turun temurun pada konsesi yang belakangan diklaim sebagai kawasan hutan. Selain praktis, kebijakan ini memberi kepastian hukum dan keberlanjutan usaha.
Baca Juga: Perusahaan Milik Konglomerat Low Tuck Kwong Memenangkan Sengketa Lahan
”Selama bertahun-tahun, masyarakat dibuat bingung dan tidak nyaman dengan penyelesaian konflik lahan berlarut-larut. Padahal, sebagian besar izin diperoleh mengikuti prosedur UU melalui Pemerintah daerah. Sayangnya, izin-izin itu dengan mudah dipatahkan hanya melalui putusan Menteri yang sebenarnya telah dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK),” tegas Sadino.
Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalimantan Tengah (Kalteng) Rawing Rambang mengharapkan, pemerintah pusat perlu segera merampungkan regulasi yang konsisten terkait sengketa lahan sawit.
Pasalnya, Kalteng menjadi provinsi yang paling terdampak akibat sering berubahnya regulasi di tingkat pemerintah pusat. “Ini persoalan utama di Kalteng dan perlu diselesaikan segera agar masyarakat tidak terjebak seolah merusak hutan seperti yang saat ini dituduhkan sejumlah pihak,” kata dia.
Baca Juga: Berbenah diri melawan diskriminasi
Menurut Rawing, tumpang tindih regulasi telah mengakibatkan banyak konflik lahan. Sebagai contoh, jika mengacu pada perda 8 tahun 2003, sekitar 67% merupakan kawasan hutan. Sedangkan berdasarkan permenhut 529 tahun 2012 yang dikeluarkan belakangan menetapkan kawasan hutan mencapai 82%.
Padahal, tahun 2000-an, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Kehutanan mengeluarkan aturan untuk Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Permukiman dan Pengembangan Lainnya (KPPL) tanpa perlu melakukan pelepasan kawasan hutan.
Namun, pada 2006, keluar aturan baru yang mewajibkan KPP dan KPPL harus mendapat pelepasan kawasan hutan. Di satu sisi, sudah banyak perkebunan yang terlanjur ditanam tanpa pelepasan, karena awalnya berpatokan pada aturan yang dikeluarkan tahun 2000.
Baca Juga: Problem CPO Indonesia dan Uni Eropa
”Karena muncul aturan baru, sehingga yang sudah terlanjur beraktivitas tanpa pelepasan ini jadi masuk kawasan hutan. Hal ini tidak bisa dihindari dan tentu karena aturan yang terbit belakangan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News