kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,44   -8,07   -0.86%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penyewa mal semakin selektif memilih lokasi


Jumat, 13 April 2018 / 12:30 WIB
Penyewa mal semakin selektif memilih lokasi


Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Sofyan Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tampaknya pendulum bisnis pusat perbelanjaan kini beralih ke tangan tenant alias penyewa. Pilihan pusat perbelanjaan yang bejibun dan perubahan selera konsumen, menyebabkan tenant semakin selektif memilih lokasi lapak.

Paling tidak, pusat perbelanjaan harus menawarkan trafik pengunjung dan lokasi strategis. Pertimbangan lain yang tak kalah penting adalah kecocokan segmen pasar dengan tenant.

"Mendatangkan crowded yang sesuai dengan segmen market menurut saya penting, karena setiap mall punya tipikal, keunikan, dan kekuatan masing-masing," tutur Ian Hendarto, Pemilik Abura Soba Yamatoten, di Jakarta, Kamis (12/4).

Kalau segmen pasar pusat perbelanjaan dan tenant sinkron, besar kemungkinan keduanya bakal menikmati keuntungan.  Makanya Abura Soba Yamatoten justru melihat, mestinya terbuka peluang antara pemilik pusat perbelanjaan dan tenant untuk memproyeksi potensi pasar di masa yang akan datang.

Senada seirama, Michelle Widjaja, Pendiri Shirokuma Cafe juga berharap ada hubungan timbal-balik dengan pusat perbelanjaan. Makanya, syarat ekspansi Shirokuma Cafe lebih dari sekadar trafik yang ramai. Restoran masakan Jepang itu, lebih mengutamakan ekspansi di pusat perbelanjaan yang pengelolanya terbuka untuk bekerjasama dengan tenant.

Tak berbeda dengan pendapat Rockstar Gym Indonesia. Tenant yang berkecimpung dalam pendidikan fisik anak itu, lebih memilih pusat perbelanjaan yang menawarkan experience atau pengalaman. "Bagi kami entertaint, banyak event, ada bioskop, F&B dan servis akan mendatangkan banyak orang ke mall itu," kata John Franklin, Chief Executive Officer Rockstar Gym Indonesia.

Harapan para tenant tersebut bukan tak sampai ke telinga pelaku usaha pusat perbelanjaan. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja (APPBI) mengakui, konsep pusat perbelanjaan telah berubah sejalan dengan makin eksisnya tipikal konsumen milenial. Sasaran utama konsumen itu bukan belanja, melainkan mendapatkan pengalaman.

Supaya tak terlindas zaman, para pengelola pusat perbelanjaan harus kreatif mengemas isi area komersial. Misalnya, melakukan tenant mixed dan menempatkan dekorasi yang unik.

Efek dari perubahan konsep pusat perbelanjaan tadi berimbas pada semua tenant. Mulai dari segmen fesyen hingga makanan dan minuman atawa food and beverage  (F&B).

Pada segmen fashion contohnya, APBI menyebutkan pergeseran karakter gerai dari department store menjadi gerai dengan ukuran lebih compact. "Department store sekarang mulai agak susah, yang kuat itu mini anchors sperti Uniqlo dan LC Waikiki yang barangnya khas," ujar Stefanus Ridwan, Ketua Umum DPP APPBI di Jakarta, Kamis (12/4).

Meski konsep pusat perbelanjaan beralih, APBI menyatakan tingkat okupansi atau keterisian ruang sewa masih tinggi. Menurut catatan asosiasi tersebut, rata-rata okupansi trade center 80% sedangkan mall 90%.

Sementara dari sisi pengunjung, rata-rata jumlah pengunjung mall kelas menengah  adalah 30.000 orang per hari. Sementara mall kelas kecil sekitar 11.000-30.000 orang per hari.

Namun perlu diketahui, statistik tingkat okupansi dan jumlah pengunjung tersebut, tidak serta-merta berkorelasi positif terhadap pendapatan pelaku usaha pusat perbelanjaan. Makanya, para anggota APBI memutuskan tak menaikkan tarif sewa tenant pada tahun ini. "Bukan agar kami survive saja, tetapi supaya penyewa kami survive," ungkap Stefanus.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×