kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Perkebunan sawit dan masyarakat adat dinilai dapat hidup berdampingan


Jumat, 25 September 2020 / 17:00 WIB
Perkebunan sawit dan masyarakat adat dinilai dapat hidup berdampingan
ILUSTRASI. Pekerja mengangkut tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Muara Sabak Barat, Tajungjabung Timur, Jambi, Jumat (10/7/2020). Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat permintaan produk sawit dunia mulai bergerak naik yang ditandai naiknya harga Crude Pal


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA, Perkebunan sawit dan masyarakat adat  sama-sama saling membutuhkan dalam rangka kegiatan pembangunan ekonomi di daerah dan Indonesia. Di provinsi sentra kelapa sawit, banyak kelompok masyarakat adat yang hidup dari perkebunan sawit.

Akan tetapi, ada sekelompok LSM diduga memanfaatkan masyarakat adat untuk menebarkan kebencian terhadap perkebunan sawit.

“Masyarakat adat dengan perkebunan kelapa sawit tidak perlu dipertentangkan karena perkebunan itu bertujuan mensejahterakan dan sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit juga dimiliki oleh masyarakat  termasuk masyarakat adat. Ketika ada persoalan dengan masyarakat adat, terkadang perusahaan  perkebunan di daerah tidak mendapatkan informasi dari pemerintah daerah bahwa lahan perkebunan tersebut telah ditetapkan sebagai hutan adat,” ujar Totok Dewanto, Ketua Borneo Forum, dalam dialog webinar bertemakan “Merawat Industri Sawit Ditengah Isu Masyarakat Adat”, Kamis (24/9).

Halini terungkap dalam dialog dengan pembicara antara lain Wakil Menteri Agraria Tata Ruang/BPN, Surya Tjandra; Pengamat Hukum Kehutanan, Sadino  dan Dosen IPB University,  Sudarsono Soedomo.  Turut hadir pengurus Gapki yakni Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono;  Sekjen Gapki Kanya Lakshmi dan pengurus GAPKI lainnya. Dialog ini dihadiri 300 peserta dari perwakilan perusahaan, petani, masyarakat adat, akademisi, dan media.

Totok menjelaskan banyak perusahaan sawit di wilayah Kalimantan belum mendapatkan informasi detail berkaitan peta hutan adat. Karena informasinya belum jelas terkait petanya hutan adatnya, maka belum bisa memberikan informasi secara mendetailnya.

Baca Juga: Cisadane Sawit Raya (CSRA) targetkan pendapatan capai Rp 600 miliar di 2020

Tentu yang diharapkan oleh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit adalah adanya jaminan kepastian berusaha dan perlindungan hukum berdasarkan regulasi. Tidak ada perusahaan yang ingin memperuncing persoalan dengan masyarakat termasuk masyarakat adat.

“Saat perusahaan sudah dapat izin dan melaksanakan kegiatan, tiba-tiba ada klaim dari masyarakat adat bahwa areal perusahaan menjadi wilayahnya.  Hal ini membuat perusahaan tidak nyaman. Setelah investasi keluar lalu ada klaim. Dalam beberapa kasus, klaim dari masyarakat adat tidak disertai legalitas dari pemerintah yang berwenang menetapkan Masyarakat Hukum Adat,” ujar Totok.

Surya Tjandra menambahkan bahwa pemerintahan Joko Widodo memiliki perhatian khusus terhadap pengembangan sawit berkelanjutan dengan menerbitkan peraturan antara lain Inpres No. 8/2018, Inpres No. 6/2019, dan Perpres No. 44/2020. Dengan luasnya dampak dan manfaat dari industri kelapa sawit bagi Indonesia, maka  keberadaan dan hubungan masyarakat hukum adat dengan kelapa sawit adalah suatu kenyataan yang harus menjadi bagian  bagi pengembangan praktik berkelanjutan.

“Harus diakui, kelapa sawit merupakan komoditas paling efisien dan tinggi produktivitas sampai sekarang. Dalam konteks masyarakat adat dan kebun sawit, harus ada perubahan perspektif tidak sebatas melihat masalah. Tapi temukan solusi. Karena sawit juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Di sisi lain, perlu penyediaan ruang hidup bagi masyarakat adat yang proporsional dan berkekuatan hukum,” kata Surya Tjandra.

Sudarsono sepakat apabila kelapa sawit dan masyarakat adat sebaiknya tidak perlu dipertentangkan  karena masyarakat adat tidak ingin konflik dengan siapapun, termasuk dengan pengembang kebun sawit. Banyak pula masyarakat adat yang  menjadi bagian dalam pengembangan kebun sawit.

“Persoalan  hutan adat dan perkebunan terjadi akibat ketidakjelasan regulasi. Dalam hal ini, Kementerian LHK tidak boleh bekerja sendiri. Tapi libatkan semua pihak termasuk pemerintah daerah dan Kementerian ATR/BPN,” ujarnya.

Baca Juga: London Sumatra (LSIP) dan Salim Ivomas (SIMP) melanjutkan ekspansi kebun dan pabrik

Ia pun mengkritisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Dalam aturan ini dibuat  lima skema perhutanan sosial yaitu Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, dan Kemitraan Kehutanan. Yang menjadi pertanyaan kenapa sawit dilarang dalam skema perhutanan sosial. “Jadi, pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat dilarang menanam kelapa sawit di areal hak atau izinnya,” tegasnya.

Berkaitan dengan pembahasan RUU Masyarakat Adat, pemerintah sebaiknya melihat RUU ini lebih jeli karena berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat, karena mayoritas lahan yang diklaim sebagai wilayah adat juga masuk sebagai klaim kawasan hutan oleh KLHK. Melihat kondisi riil masyarakat adat saat ini, menurut  Dr. Sadino RUUini patut dicermati lebih jeli sebab saat ini masyarakat adat telah diatur didalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan lintas sektoral.

Sebaiknya regulasi yang ada dan terkait masyarakat adat yang tersebar tersebut, pemerintah mengharmoniskan peraturan hukum adat yang sudah ada. Takutnya kalau RUU Masyarakat Adat diketok oleh DPR juga tidak bisa diimplementasikan. “Sudah ada di UU Kehutanan dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Desa dan Peraturan Daerah lainnya,” kata Sadino.

Sadino menegaskan bahwa apabila ada yang mengakui kelompok masyarakat adat tidak bisa sebatas klaim semata karena harus ada pengakuan secara hukum berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012, Putusan MK No. 31 Tahun 2007 dan Putusan MK No. 34 Tahun 2011. Pengakuan masyarakat adat ini membutuhkan proses panjang karena melewati serangkaian tahapan syarat seperti turun temurun hidup di wilayah tersebut, ada ikatan kuat terhadap leluhur, hubungan kuat dengan lingkungan hidup, dan adanya sistem nilai berbasis ekonomi, politik serta social dan tentunya tetap menghormati hak pihak lain yang diberikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti investasi perkebunan kelapa sawit.

Baca Juga: Ekspansi berlanjut, capex emiten sawit Grup Indofood pada 2020 diproyeksi Rp 1,6 T

“Yang terjadi sekarang, belum ada inventarisasi database masyarat adat secara optimal. Kalau persoalan ini tidak terselesaikan maka potensi konflik tenurial bisa terjadi. Sebagai contoh, Badan Registrasi Wilayah adat menglaim ada 9,2 juta hektare lahan adat,” jelasnya.

Kendati demikian, dikatakan Sadino, pelaku usaha perkebunan sebaiknya tidak khawatir terhadap adanya klaim sekelompok masyarakat adat. Asalkan mereka tetap memiliki legalitas lahan sesuai perundang-undangan seperti tetap berpegang pada Izin Usaha Perkebunan, HGU dan perizinan lainnya.  

Joko Supriyono, menyebutkan tantangan yang dihadapi industri sawit kian berat lantaran dihadang beragam isu seperti tenaga kerja, hak asasi manusia, dan masyarakat adat. Untuk itu, pemerintah diharapkan membuat kepastian bagi investasi melalui implementasi regulasi.  

“Karena isu sosial terus digerakkan dengan isu masyarakat adat lalu klaim tanah. Klaim tanah sekarang nuansanya menjadi klaim masyarakat adat. Bahkan kebun yang usianya sudah mencapai ratusan  tahun diklaim punya masyarakat adat,” jelasnya.

Pemerintah juga sebaiknya lebih jeli melihat persoalan ini karena banyak petani berasal dari masyarakat adat dan lokal setempat. “Petani sawit dari masyarakat setempat sebaiknya dilindungi juga. Sebagai contoh, petani yang diklaim ada di kawasan hutan menghadapi ketidakpastian,” ujarnya.

Selanjutnya: Produktivitas sawit rekor, PTPN V optimistis pendapatan bisa Rp 4,8 triliun tahun ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×