kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perkebunan sawit dan masyarakat adat dinilai dapat hidup berdampingan


Jumat, 25 September 2020 / 17:00 WIB
Perkebunan sawit dan masyarakat adat dinilai dapat hidup berdampingan
ILUSTRASI. Pekerja mengangkut tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Muara Sabak Barat, Tajungjabung Timur, Jambi, Jumat (10/7/2020). Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat permintaan produk sawit dunia mulai bergerak naik yang ditandai naiknya harga Crude Pal


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

Sebaiknya regulasi yang ada dan terkait masyarakat adat yang tersebar tersebut, pemerintah mengharmoniskan peraturan hukum adat yang sudah ada. Takutnya kalau RUU Masyarakat Adat diketok oleh DPR juga tidak bisa diimplementasikan. “Sudah ada di UU Kehutanan dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Desa dan Peraturan Daerah lainnya,” kata Sadino.

Sadino menegaskan bahwa apabila ada yang mengakui kelompok masyarakat adat tidak bisa sebatas klaim semata karena harus ada pengakuan secara hukum berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012, Putusan MK No. 31 Tahun 2007 dan Putusan MK No. 34 Tahun 2011. Pengakuan masyarakat adat ini membutuhkan proses panjang karena melewati serangkaian tahapan syarat seperti turun temurun hidup di wilayah tersebut, ada ikatan kuat terhadap leluhur, hubungan kuat dengan lingkungan hidup, dan adanya sistem nilai berbasis ekonomi, politik serta social dan tentunya tetap menghormati hak pihak lain yang diberikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti investasi perkebunan kelapa sawit.

Baca Juga: Ekspansi berlanjut, capex emiten sawit Grup Indofood pada 2020 diproyeksi Rp 1,6 T

“Yang terjadi sekarang, belum ada inventarisasi database masyarat adat secara optimal. Kalau persoalan ini tidak terselesaikan maka potensi konflik tenurial bisa terjadi. Sebagai contoh, Badan Registrasi Wilayah adat menglaim ada 9,2 juta hektare lahan adat,” jelasnya.

Kendati demikian, dikatakan Sadino, pelaku usaha perkebunan sebaiknya tidak khawatir terhadap adanya klaim sekelompok masyarakat adat. Asalkan mereka tetap memiliki legalitas lahan sesuai perundang-undangan seperti tetap berpegang pada Izin Usaha Perkebunan, HGU dan perizinan lainnya.  

Joko Supriyono, menyebutkan tantangan yang dihadapi industri sawit kian berat lantaran dihadang beragam isu seperti tenaga kerja, hak asasi manusia, dan masyarakat adat. Untuk itu, pemerintah diharapkan membuat kepastian bagi investasi melalui implementasi regulasi.  

“Karena isu sosial terus digerakkan dengan isu masyarakat adat lalu klaim tanah. Klaim tanah sekarang nuansanya menjadi klaim masyarakat adat. Bahkan kebun yang usianya sudah mencapai ratusan  tahun diklaim punya masyarakat adat,” jelasnya.

Pemerintah juga sebaiknya lebih jeli melihat persoalan ini karena banyak petani berasal dari masyarakat adat dan lokal setempat. “Petani sawit dari masyarakat setempat sebaiknya dilindungi juga. Sebagai contoh, petani yang diklaim ada di kawasan hutan menghadapi ketidakpastian,” ujarnya.

Selanjutnya: Produktivitas sawit rekor, PTPN V optimistis pendapatan bisa Rp 4,8 triliun tahun ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×