kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Perlu Perbaiki Tata Niaga Nikel Indonesia agar Lebih Punya Nilai Jual di Dunia


Jumat, 17 November 2023 / 14:42 WIB
Perlu Perbaiki Tata Niaga Nikel Indonesia agar Lebih Punya Nilai Jual di Dunia
ILUSTRASI. Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, diikuti dengan Filipina dan Rusia.


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Indonesia sebagai salah satu negara penyimpan cadangan nikel terbesar di dunia menjadi rebutan Amerika Serikat (AS) dan China. Kedua negara itu melihat prospek nikel sangat strategis dan vital dalam mendukung transisi energi.

Asal tahu saja, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, diikuti dengan Filipina dan Rusia. Menurut Badan Geologi Amerika Serikat (USGS), produksi nikel Indonesia mencapai 1,6 juta metrik ton (MT) pada 2022, sedangkan Filipina hanya 330.000 MT, dan Rusia 220.000 MT.

Berdasarkan data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), cadangan nikel di Indonesia sekitar 4,5 miliar ton yang terdiri dari 900 juta ton untuk kadar tinggi (kandungan nikel di atas 1,8%) dan 3,6 miliar ton untuk nikel kadar rendah atau nikel limonit.

Nikel banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri baterai kendaraan listrik hingga baterai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) karena dikenal sebagai jenis logam transisi yang kuat, padat dan tahan terhadap panas dan korosi. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan kekayaan nikel di Tanah Air mencapai US$ 200 miliar, tentu ini nilai yang cukup besar untuk dikembangkan pemerintah.

Melihat prospek yang cerah itu, baru-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden AS Joe Biden di Washington DC menjelang KTT APEC di San Fransisco. Salah satu yang dibahas ialah potensi kesepakatan mineral kritis  dalam mendorong perdagangan nikel untuk produksi baterai kendaraan listrik.

Pertemuan ini merupakan tindak lanjut negosiasi terhadap sikap AS yang ‘mengucilkan’ nikel Indonesia melalui Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA).

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi menyatakan, salah satu hasil penting dari pertemuan itu ialah disepakatinya penguatan kerja sama mineral kritis. “Untuk itu akan dibentuk rencana kerja (work plan) menuju pembentukan Critical Mineral Agreement (CMA),” jelasnya dalam keterangan resmi, Selasa (14/11).

Baca Juga: Jokowi Ajak Pebisnis APEC Investasi di Indonesia

Jika CMA sudah dimiliki, Indonesia dapat menjadi pemasok kebutuhan baterai kendaraan listrik di AS secara berkesinambungan untuk jangka panjang.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengemukakan, prinsipnya kedua negara setuju membuat critical mineral program. Akan ada kelompok kerja dari dua belah pihak agar semua bisa dirumuskan dan berjalan.

“Mineral yang akan difokuskan nikel dahulu, yang paling kritikal karena paling dibutuhkan untuk mendukung transisi energi,” ujarnya saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (17/11).

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menilai, kesepakatan ini harus dicapai oleh kedua belah pihak sehingga produk hilirisasi nikel Indonesia bisa diterima di pasar Amerika dan mendapatkan fasilitas keringanan yang sebelumnya telah dinikmati.

Rizal menyebutkan, diskriminasi nikel oleh Amerika Serikat terutama karena dominasi perusahaan China yang menguasai hilirisasi di Indonesia. Nah, kesepakatan ini diharapkan dapat mengurangi dominasi itu.

“Karena nikel banyak dikuasai perusahaan dari China sebagai pemegang saham mayoritasnya. Hal ini yang menghambat Indonesia mendapatkan fasilitas kepabeanan yang selama ini didapatkan,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (16/11).

Sebagaimana diketahui China merupakan pemain utama dunia untuk mineral strategis yang dibutuhkan industri maju. AS tidak ingin ketergantungan pada China untuk kebutuhan bahan baku tersebut.

Lantas jika kesepakatan antara AS dan Indonesia berjalan, Rizal melihat, potensi ekspor produk turunan nikel ke negeri Paman Sam sangat besar.

Semenjak dapat memproduksi baku baterai yakni nickel matte dan mixed hydroxide precipitate (MHP) nilai ekspor nikel dari Indonesia melejit cukup tinggi bahkan mencapai rekornya pada 2022.

Baca Juga: Begini Prospek Vale Indonesia (INCO) Usai Keputusan Divestasi 14% Saham ke MIND ID

Sebagai gambaran, berdasarkan data Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), produksi nikel matte sempat mengalami kenaikan signifikan hingga 27,36% dari sebelumnya 72.000 ton di 2019 menjadi 91.700 ton di 2020.

Adapun berdasarkan data MODI, produksi nikel matte di 2021 menurun menjadi 82.560 ton dan di 2022 kembali turun menjadi 75.960 ton.

Meski produksi nikel matte melandai, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan realisasi ekspor nikel dan produk olahannya melejit lebih dari 300% year on year (yoy) pada 2022 yakni senilai US$ 5,97 miliar dari sebelumnya US$ 1,27 miliar di 2021.

Dalam data Kementerian Perindustrian, produksi nikel berbasis hidrometalurgi sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik yakni MHP kapasitas produksinya baru sekitar 915.000 ton per tahun. Seluruh produksi MHP diekspor karena belum ada industri  dalam negeri yang bisa mengolahnya.

Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves Firman Hidayat mengatakan, melalui ekspor produk bahan baku baterai tersebut, Indonesia bisa menaikkan nilai ekspor lebih dari 10 kali kurang dari 10 tahun.

“Sebagai gambaran di 2014 nilai ekspor derivatif nikel hanya mencapai US$ 3 miliar tetapi di tahun lalu mencapai US$ 34 miliar. Adapun angka ini diproyeksikan akan terus tumbuh jika Indonesia dapat memproduksi baterai lithium pada 1-2 tahun ke depan,” ujarnya dalam acara UOB Gateway to ASEAN Conference 2023 di Jakarta, Rabu (11/10).

Kembali mengintip catatan Kementerian Perindustrian, hadirnya nikel di Indonesia mampu mengerek Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) industri di provinsi tempat smelter nikel berada.

Contohnya di Sulawesi Tengggara, sebagai produsen nikel terbesar di Indonesia, mengalami pertumbuhan PDRB industri pengolahan sebesar 16,74% di  2022, yang sebagian besar disumbang oleh industri pengolahan nikel.

Baca Juga: Vale (INCO) Harus Rampungkan Smelter dalam 3 Tahun Sejak Perpanjangan Izin Keluar

Kemudian, jika dilihat dari perolehan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sektor logam nikel juga mengalami kenaikan yang terutama dari daerah-daerah penghasil nikel. Tahun 2022, PNBP dari daerah penghasil nikel mencapai Rp 10,8 Triliun, meningkat dari tahun 2021 yang sebesar Rp 3,42 triliun.

Total PNBP dari lima provinsi penghasil nikel mencapai Rp 20,46 triliun sepanjang 2021 hingga triwulan II/2023, dengan provinsi Sulawesi Tenggara merupakan penyumbang terbesar PNBP (Rp 8,73 triliun), disusul provinsi Maluku Utara (Rp 6,23 triliun).

Perbaikan tata kelola nikel

Saat ini, pemerintah mulai menyesap manisnya pengembangan nikel di Tanah Air. Sejatinya, jika Indonesia bisa menerapkan tata kelola yang lebih baik, produk nikel Indonesia bisa semakin laris-manis di dunia.

Sebagai catatan saja, diskriminasi yang dilakukan AS terhadap produk nikel Indonesia salah satunya juga dipicu tata kelola industri yang masih jauh dari kata ideal.

Direktur Kampanye Trend Asia, Ahmad Ashov Birry menyatakan, carut-marutnya tata kelola nikel berpotensi tidak hanya menghambat transisi energi yang berkeadilan di Indonesia dan dunia, namun akan menjadi kutukan sumber daya alam yang kesekian kalinya bagi Indonesia.

Ia menegaskan, puncak gunung es dari permasalahan tata kelola nikel seperti kasus korupsi yang melibatkan pejabat teras seperti Wamenkumham (Wakil Menteri Hukum dan HAM) hingga mantan Dirjen Minerba (Direktur Jenderal Mineral dan Batubara), sampai ekspor ilegal jutaan ton nikel Indonesia ke China seharusnya sudah cukup bagi Indonesia untuk melakukan perbaikan serius.

“Negara-negara importir atau calon importir seperti China dan AS seharusnya ikut mendorong perbaikan dan bukan malah menikmati keuntungan tak adil dari situasi yang buruk tersebut,” tegas Ahmad di dalam keterangan resmi, Senin (13/11).

Di sisi lain, dalam laporan Walhi berjudul “Booming PLTU Captive: Ironi Transisi Energi, Kehancuran Ekologi, dan Hilangnya Sumber Penghasilan Masyarakat di Pulau Sulawesi”, disebutkan, mayoritas kawasan industri pengolahan nikel di Indonesia, khususnya di Pulau Sulawesi digerakkan oleh pembangkit listrik batubara dengan total kapasitas pembangkit sebesar 5,6 GW atau 52% dari total kapasitas pembangkit PLTU Captive di Indonesia.

Kini PLTU Captive tersebut menimbulkan banyak sekali masalah, mulai dari pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dampak lingkungan dan sosial, serta dampak kesehatan bagi masyarakat lokal.

Di sisi lain, program hilirisasi nikel juga dinilai pengusaha belum cukup didukung dengan peta jalan yang jelas. Kritik ini dilayangkan pengusaha karena sejumlah smelter nikel mengalami defisit bahan baku dan terpaksa mengimpor bijih nikel dari Filipina. 

Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I), Haykal Hubeis menegaskan, melambatnya pasokan bijih nikel yang terjadi saat ini, bertolak belakang dengan informasi yang selama ini beredar di mana Indonesia menyimpan cadangan nikel yang melimpah.

Padahal saat ini banyak perusahaan, investor nikel yang sedang bergiat melanjutkan pembangunan smelternya di Tanah Air.

“Namun sayang, semangat investasi ini dihadang oleh masalah short supply bijih nikel itu. Yang lebih meresahkan masalah ini datang tiba-tiba tanpa ada persiapan maupun pemberitahuan,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (6/10).

Menurutnya, persoalan ini tentu menjadi perhatian khusus bagi pihak pemerintah untuk dicari penyebab dan jalan keluarnya. 

Ketua Komite Tetap Minerba Kadin Indonesia, Arya Rizqi Darsono menyatakan, sumber daya dan cadangan nikel Indonesia memang besar, tetapi jumlah yang diproduksi dan dipasok tidak sesuai dengan kebutuhan smelter.

“Penyerapan hasil dari hilirisasi bahan tambang juga memerlukan roadmap yang jelas dan terukur termasuk tata kelola yang mengatur dari sisi hulu sampai dengan hilir,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola  Mineral dan Batubara, Irwandy Arif menyebut Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara sudah menyusun peta jalan nikel.

“Kami susun grand strategy sektor minerba. Ini semuanya ada di minerba, jadi roadmap-nya sudah ada semua untuk komoditas penting," ujarnya dalam acara workshop Peningkatan Kapasitas Media Sektor Minerba bertema "Creating Good News for a Better Minerals Sector" di Jakarta, pada 8 Maret 2023 silam.

Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan sebagai aspek utama dalam produksi kendaraan listrik, jalur panjang produksi baterai EV dari bijih limonite atau kadar rendah memerlukan dukungan terintegrasi dari berbagai sektor industri terkait.

“Kemenperin terus mendukung dan memfasilitasi kebutuhan pelaku usaha industri di dalam negeri yang berkontribusi terhadap keberhasilan program hilirisasi,” ujarnya Rabu (13/9).

Baca Juga: Berkah Komoditas Berakhir! Indonesia Masuki Periode Perlambatan Ekonomi

Untuk menanggulangi persoalan tata kelola nikel saat ini, Ketua Harian Forum MSG/Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Sumber Daya Alam Kementerian ESDM, Sampe L Purba menyatakan perlunya transparansi data industri ekstraktif (salah satunya nikel) untuk menyusun perencanaan transisi energi.

“Dengan adanya data dan informasi tersebut, stakeholder dapat melakukan analisa, mengukur dampak dan manfaat transisi energi dari sisi sosial dan ekonomi yang mungkin ditimbulkan,” ujarnya di dalam dalam Dialog EITI Indonesia Tata Kelola Migas & Tambang “Sejauh Mana Standar Transparansi EITI telah Berjalan & Mampukah EITI Mendukung Upaya Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia?” pada Rabu (8/4).

Transparansi data industri ekstraktif akan membantu dan mendukung pelaku industri, pemerintah daerah dan masyarakat, serta akademisi untuk mengambil posisi, keputusan, dan implementasi skema transisi apa yang lebih sesuai, baik di tingkat lokal dan nasional.

Sekretariat Extractive Industries Transparency Initiative (EITI)  International Emanuel Bria menjelaskan transisi energi akan berdampak pada meningkatnya permintaan mineral kritis seperti nikel dan prioritas pada energi baru terbarukan.

Menurutnya adanya keterbukaan data industri ekstraktif dalam konteks transisi energi akan berkontribusi pada membantu stakeholder dapat memproyeksi  penerimaan daerah atau negara dan potensi ekspor dan impor.

“Mengurangi risiko korupsi dalam perizinan dan kontrak, meningkatkan pemahaman kontribusi perusahaan ekstraktif pada aspek sosial dan lingkungan,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×