Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Total utang pemerintah ke PT Pertamina (Persero) atas penugasan penjualan bahan bakar minyak PSO (BBM PSO) mencapai Rp 96,53 triliun.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan, total utang tersebut terdiri dari utang penugasan tahun 2017 hingga 2019.
Dengan rincian, untuk utang 2017 sebesar Rp 20,78 triliun, 2018 mencapai Rp 44,85 triliun dan 2019 sebesar Rp 30,86 triliun.
Baca Juga: Selisih valuasi aset Kilang Cilacap capai US$ 1,1 miliar, Pertamina-Aramco pisah
"Kalau dari surat Menteri Keuangan angka yang akan dibayar Rp 45 triliun. Sisanya Rp 51,53 triliun di tahun depan dan depannya lagi," kata Nicke dalam agenda Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI, Senin (29/6).
Dia menambahkan, volume penyaluran BBM PSO pada tahun-tahun tersebut telah diverifikasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dan besaran nilai utang juga telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Selain itu, besaran utang tersebut juga telah disetujui oleh Kementerian Keuangan. Hingga saat ini Pertamina masih menanti realisasi pembayaran utang pemerintah.
Nicke bilang, pembayaran piutang Pertamina bakal berkontribusi positif pada arus kas perusahaan yang tertekan pada periode Maret dan April tahun ini.
"Arus kas akan sangat terbantu, karena di Maret dan April agak tertekan. Ini juga membantu alokasi belanja modal tahun ini yang sekitar US$ 6,2 miliar," ujar Nicke.
Lebih lanjut Nicke mengatakan, pembayaran selisih harga jual eceran BBM PSO juga bakal menjadi alternatif pendanaan untuk proyek-proyek strategis nasional di tahun ini.
Baca Juga: Pertamina beberkan alasan pembangunan kilang minyak mendesak dilakukan
Menurutnya, kebutuhan capex tahun ini sudah tidak bisa dipangkas sebab adanya kebutuhan untuk melaksanakan PSN. Selain itu, sebelumnya sudah ada pemangkasan capex sebesar 23% dari alokasi awal.
Di sisi lain, Nicke menegaskan pemangkasan capex sudah tidak dimungkinkan lagi mengingat perlunya investasi kegiatan hulu migas tahun ini.
"Karena banyak sumur tua yang harus dioperasikan, untuk dinonaktifkan atau ditutup akan mahal kalau diaktifkan lagi mengingat decline rate sudah 20%," pungkas Nicke.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News