kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pertamina targetkan kapasitas terpasang PLTP capai 1,3 GW di 2025


Kamis, 22 Oktober 2020 / 07:50 WIB
Pertamina targetkan kapasitas terpasang PLTP capai 1,3 GW di 2025


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

Mindaryoko melanjutkan, saat ini PGE menjalankan tiga proyek pengembangan panas bumi. Pertama, PLTP Lumut Balai unit 2 di Sumatera Selatan dengan rencana kapasitas terpasang sebesar 55 MW. Kedua, PLTP Hululais unit 1&2 di Bengkulu dengan rencana kapasitas terpasang sebesar 2 x 55 MW.

Ketiga, PLTP Sungai Penuh unit 1 di Kerinci-Jambi, dengan rencana kapasitas terpasang sebesar 55 MW. "Selain pengembangan panas bumi, saat ini PGE juga sedang melakukan kegiatan eksplorasi untuk Wilayah Kerja Seulawah Agam di Aceh dan Gunung Lawu di Jawa tengah," sambung Mindaryoko.

Adapun, investasi yang akan dikucurkan PGE untuk pengembangan panas bumi hingga tahun 2026 diestimasikan mencapai US$ 2,68 miliar. "Untuk meningkatkan daya saing jangka panjang sampai tahun 2026, PGE akan fokus pada strategi untuk meningkatkan kapasitas PLTP sesuai target dan pengembangan direct use yang memiliki nilai komersial," terang Mindaryoko.

Baca Juga: PGN: Kebijakan harga gas US$ 6 per MMBTU mulai brdampak pada pemulihan industri

Meski sedang dalam kondisi pandemi Covid-19, Mindaryoko menyampaikan bahwa PGE tetap melaksanakan proses biding untuk memilih pelaksana EPCC total project untuk membangun PLTP Lumut Balai 2.

Terpisah, Daniel S. Purba mengungkapkan dari sisi teknis dan teknologi pengeboran panas bumi, Pertamina sudah bisa mengatasinya. Kendati begitu, masih ada sejumlah tantangan dalam pengembangan panas bumi.

Daniel menyoroti kebutuhan belanja modal alias capital expenditure (capex) yang masih sangat besar. Sebabnya, infrastruktur dasar belum disiapkan, sehingga pengembang harus mengucurkan investasi terlebih dulu. Padahal, medan pengeboran panas bumi sangat sulit sehingga pembangunan infrastruktur dasar memerlukan dana besar.

"Jadi bayangkan kita harus mengebor di Pegunungan, di Lembah, jalan ke sana belum ada. Kita harus memobilisasi peralatan pemboran, peralatan pembangkit listrik. Untuk itu kita harus siapkan jalan dengan kualitas yang mampu menampung beban berat," terang Daniel.

Dia berharap, pemerintah bisa memberikan insentif dalam penyediaan infrastruktur dasar. Selain itu, paket kebijakan yang sedang disiapkan pemerintah juga diharapkan bisa membuat return investasi menjadi semakin menarik.

Baca Juga: Pelaku UMKM terdampak Covid, Pertagas terus jaga asa Kelompok Tuli sampai Petani

Senada, Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi mengatakan, belum tersedianya infrastruktur dasar yang menyedot capex cukup besar bakal berdampak terhadap keekonomian proyek. Untuk itu, dia menilai perlu ada insentif dari pemerintah, agar biaya pengembangan yang mahal bisa terpangkas.

"Itu dibebankan kepada investor, sehingga biayanya cukup mahal. Salah satu solusinya, maka pemerintah harus memberikan fasilitas, termasuk membangun infarstruktur. Apakah itu pemerintah pusat atau daerah," pungkas Fahmy.

Selanjutnya: Kementerian ESDM pastikan mulai pengeboran panas bumi pada 2021

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×