Reporter: Agung Hidayat | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Permintaan produk petrokimia di tahun ini diperkirakan cenderung stabil, namun beberapa hambatan masih membayangi para pelaku usaha. Selain gejolak ekonomi global, situasi ekonomi dan politik dalam negeri turut mempengaruhi industri ini.
Fajar Budiono, Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) mengatakan bahwa kondisi industri di semester pertama tahun ini belum terlalu bagus keadaannya.
"Dengan tensi yang panas di tahun politik ini menyebabkan pelaku usaha khawatir bakal ada transisi yang berkepanjangan," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (10/6).
Soal harga minyak sendiri, saat ini dirasakan masih normal dan tak terlalu berefek besar bagi industri. Dengan keadaan sekarang, pabrikan petrokimia hanya memproduksi sesuai permintaan yang ada dalam jangka pendek.
"Saat ini tunggu (demand) baru jual, tidak seperti dulu dimana pabrikan mengejar produksi," sebut Fajar.
Adanya transisi kepemerintahan saat ini membuat pelaku industri wait and see jika ada kebijakan yang kembali menghambat, seperti persoalan cukai plastik dan pelarangannya.
Fajar menyebutkan bahwa di tahun politik ini beberapa peraturan daerah (perda) pelarangan plastik di beberapa daerah turut menumpang. "Keberadaan perda tersebut berpengaruh terhadap para pelaku industri ini," katanya.
Adapun pertumbuhan permintaan produk petrokimia menurut Inaplas sekarang masih dikisaran 5,2% sampai 5,3% dibandingkan tahun lalu. Jika produsen dalam negeri mengetatkan kapasitas produksinya, bukan tidak mungkin barang impor turut gencar mengisi.
Apalagi ditengah trade war China-Amerika Serikat (AS) kali ini, dimana kata Fajar di satu sisi dapat menjadi peluang bagi produsen petrokimia Indonesia yang mau menyuplai kebutuhan ekspor ke negeri Paman Sam. Namun di sisi lain kelebihan produksi China dikhawatirkan membanjiri pasar dalam negeri.
Oleh karena itu, Inaplas memproyeksikan pertumbuhan bisnis industri petrokimia tahun 2019 tak lebih dari 5,1%. Bahkan di semester-I tahun ini saja diperkirakan hanya mentok angka 5%.
Calvin Wiryapranata, Direktur Keuangan PT Lotte Chemical Titan Tbk (FPNI) saat paparan publik perseroan di bulan lalu mengakui perusahaan agak kesulitan memprediksi pasar petrokimia saat ini.
Apalagi margin spread, selisih harga jual dengan biaya bahan baku utama, yang dirasakan di awal tahun ini cenderung menurun dibandingkan tahun lalu.
"Situasi market cenderung sedang-sedang saja. Kuartal berikutnya agak sulit sekali kami prediksi. Yang jelas kami harus responsif dengan produk yang bermargin lebih baik," sebut Calvin.
Secara garis besar, jenis polietilena yang diproduksi FPNI mencakup Linear low-density polyethylene (LLDPE) dan high density polyethylene (HDPE), dimana margin spread LLDPE di tahun lalu tidak terlalu baik sehingga porsi produksinya dikurangi.
Dan situasi itu tampaknya masih berlangsung hingga sekarang, di mana manajemen mematok persentase penjualan LLDPE kisaran 40%, sedangkan sisanya 60% untuk HDPE yang bermargin lebih tinggi.
Di tahun 2018 kemarin volume penjualan FPNI mencapai 306 ribu ton, di mana dalam 8 tahun terakhir perusahaan menjaga produksi polietilena di atas 300 ribu ton. Perusahaan belum akan melakukan ekspansi lagi dan masih memaksimalkan lini produksi yang ada.
Sementara itu bagi produsen bijih plastik seperti, PT Trinseo Materials Indonesia (TMI) bisnis secara umum di lima bulan pertama tahun ini masih stabil lantaran harga bahan baku yakni monomer dan kurs Rupiah berada pada level yang dapat diantisipasi, belum lagi permintaan sektor kemasan jelang lebaran kemarin dilihat menguat.
"Kalau Outlook setelah libur Lebaran masih wait and see menunggu dinamika pasar," sebut Donny Wahyudi, Sales Manager TMI kepada Kontan.co.id, Senin (10/6).
Melihat pengalaman tahun-tahun sebelumnya, kata Donny, biasanya demand akan cenderung melemah di kuartal ketiga. Maraknya pelarangan plastik sekali pakai menjadi salah satu concern utama TMI yang juga menjadi momok bagi industri plastik di tanah air.
Saat ini perseroan mempunyai dua pabrik, di mana satu pabrik yang memproduksi polystyrene mempunyai kapasitas produksi 85.000 ton per tahun, sedangkan satunya lagi adalah pabrik latex. Tampaknya perusahaan belum akan menambah kapasitas produksi di tahun ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News