Reporter: Adisti Dini Indreswari | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pembangunan infrastruktur memicu tren perkantoran meluas hingga ke pinggiran Jakarta. Berdasarkan riset Cushman & Wakefield, pertumbuhan yang terjadi di non central business district (CBD) justru lebih pesat ketimbang di CBD.
Cushman & Wakefield mencatat selama periode 2010 sampai dengan 2013, pasokan perkantoran di non CBD bertambah 20% menjadi 3 juta meter persegi (m2). Bandingkan dengan pertumbuhan di CBD yang hanya 13% menjadi 4,7 juta m2.
Nah, selama periode 2013 sampai dengan 2016, pertumbuhan pasokan di non CBD diprediksi tetap tinggi, yaitu sebesar 39% menjadi 4,2 juta m2. Sementara pasokan di CBD diperkirakan hanya akan bertambah 33% menjadi 6,2 juta m2.
"Walaupun perkantoran baru terus bermunculan, tapi penyerapan masih bisa mengimbangi," ujar Arief Rahardjo, Senior Associate Director Research & Advisory Cushman & Wakefield di Jakarta, Selasa (22/4). Buktinya, rata-rata tingkat okupansi perkantoran di non CBD bertengger di angka 91,2% pada 2013.
Arief bilang, makin maraknya perkantoran di non CBD bisa menyulut relokasi perusahaan yang tadinya berkantor di CBD. Sayangnya dia mengaku tidak tahu persis jumlah perusahaan yang memutuskan untuk hengkang dari CBD. "Tergantung bidangnya. Misalnya, perusahaan yang berhubungan dengan perkapalan bisa pindah ke Jakarta Utara mendekati Pelabuhan Tanjung Priuk," tuturnya.
Relokasi juga didorong oleh selisih harga yang sangat jauh antara CBD dan non CBD. Pada kuartal I-2014, rata-rata tarif sewa perkantoran di non CBD hanya Rp 169.100 per m2 per bulan, sedangkan di CBD sudah mencapai Rp 311.250 per m2 per bulan.
Meski begitu, pertumbuhan perkantoran tidak merata di semua daerah non CBD. Beberapa koridor yang disorot oleh Cushman & Wakefield antara lain Slipi dan Puri Indah di Jakarta Barat, Pluit di Jakarta Utara, Kebon Sirih dan Kemayoran di Jakarta Pusat, Cawang di Jakarta Timur, serta TB Simatupang di Jakarta Selatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News