kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.894   36,00   0,23%
  • IDX 7.203   61,60   0,86%
  • KOMPAS100 1.107   11,66   1,06%
  • LQ45 878   12,21   1,41%
  • ISSI 221   1,09   0,50%
  • IDX30 449   6,54   1,48%
  • IDXHIDIV20 540   5,97   1,12%
  • IDX80 127   1,46   1,16%
  • IDXV30 135   0,73   0,55%
  • IDXQ30 149   1,79   1,22%

Peternak itik menolak pemusnahan unggas


Jumat, 14 Desember 2012 / 06:06 WIB
Peternak itik menolak pemusnahan unggas
ILUSTRASI. Mobil listrik Hyundai Kona dan Hyundai Ioniq


Reporter: Fitri Nur Arifenie, Sandy Baskoro | Editor: Sandy Baskoro

JAKARTA. Ancaman virus flu burung semakin nyata. Pemerintah mencatat virus avian influenza (H5N1) ini telah menjangkiti puluhan ribu itik di sedikitnya 19 kabupaten/kota yang tersebar di empat provinsi di pulau Jawa.

Agar virus ganas ini tak meluas, Kementerian Pertanian meminta seluruh instansi terkait di daerah dan asosiasi peternakan unggas melaksanakan depopulasi itik secara terbatas. Depopulasi adalah pengurangan populasi dengan cara memusnahkan unggas hidup yang berada di wilayah terjangkitnya virus flu burung dengan radius 1 kilometer.

"Jika ada gejala flu burung, kemudian diuji klinis dan terbukti, maka depopulasi harus dilakukan secepatnya," ungkap Pujiatmoko, Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian di Jakarta, Kamis (13/12).

Namun pemerintah belum menyiapkan dana kompensasi. Untuk memberi kompensasi, menurut Pujiatmoko, perlu ada penetapan status bahwa kematian itik akibat virus flu burung termasuk bencana.

Ketua Umum Himpunan Peternak Unggas Lokal (Himpuli), Ade Meirizal Zulkarnain, menolak tegas permintaan pemerintah untuk memusnahkan unggas di radius 1 km dari lokasi flu burung. Ia bilang, kegiatan depopulasi tanpa kompensasi jelas merugikan peternak.

Ade khawatir, tanpa ada kompensasi dari pemerintah, peternak lebih memilih menjual atau memotong itik yang berpotensi terjangkit virus flu burung ketimbang memusnahkannya. Jika itu terjadi, bukan tak mungkin penyebaran virus flu burung ke itik semakin meluas. Ketimbang depopulasi, Ade menyarankan pemerintah merestrukturisasi perunggasan. Caranya, menata kembali petani unggas lokal. Misalnya, itik yang selama ini diumbar, harus dikandangkan. "Kemudian, pembinaan peternak tradisional menjadi semi intensif," ucap Ade.

Per 12 Desember 2012, kata Pujiatmoko, itik yang mati akibat flu burung berada di 19 kabupaten/kota di Pulau Jawa. Di Jawa Tengah, misalnya, kematian itik mencapai 61.459 ekor dari populasi sebanyak 8,1 juta ekor. "Ini yang sudah diverifikasi kematian akibat virus flu burung," kata Pujiatmoko.

Himpuli mencatat setidaknya 350.000 itik mati akibat virus flu burung. Dengan asumsi harga itik Rp 40.000 per ekor, peternak berpotensi merugi hingga Rp 14 miliar. Nilai kerugian bisa bertambah jika unggas yang mati adalah itik petelur yang harganya bisa Rp 200.000 per ekor. Kerugian ini tentunya semakin membengkak apabila pemerintah memaksakan depopulasi tanpa memberikan kompensasi.

Seperti telah ditulis KONTAN, berbeda dengan wabah flu burung sebelumnya, virus flu burung yang menyerang itik di sejumlah daerah sejak awal Desember lalu berasal dari tipe virus clade 2.3.2 yang terbilang jenis virus baru. Selama ini virus yang menjangkiti unggas di Indonesia adalah virus clade 2.1.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×