Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebutkan, tingkat okupansi hotel di daerah-daerah penyangga DKI Jakarta alami peningkatan sekitar 30% pada akhir pekan setelah diberlakukannya kebijakan masa transisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan memulai fase adaptasi kebiasaan baru (AKB).
Meski demikian, Wakil Ketua PHRI Maulana Yusran menilai kenaikan ini belum dapat memperbaiki kinerja sektor perhotelan secara keseluruhan. Ia masih meragukan sektor perhotelan mampu pulih dengan cepat, karena okupansi di hari biasa masih rendah.
Baca Juga: Protokol kesehatan bikin biaya operasional hotel naik
"Di hari biasa okupansi hotel menurun drastis karena belum digunakannya ruangan hotel untuk pertemuan-pertemuan bisnis. Padahal, jasa tersebut merupakan kontributor terbesar tingkat okupansi hotel," ujar Maulana kepada Kontan.co.id, Rabu (01/7).
Ia menyebut, untuk okupansi pertemuan-pertemuan bisnis saat ini sama sekali tidak bergerak. Kalau mengandalkan orang liburan, Ia tidak yakin okupansi akan tinggi, rata-rata okupansi 20%-30% yang menurutnya ini sudah sangat tinggi untuk saat ini.
Maulana menjelaskan, okupansi hotel tertinggi berada di kawasan wisata Puncak Bogor, Jawa Barat. Sebab, warga Jakarta lebih sering menghabiskan waktu akhir pekannya untuk berlibur ke daerah tersebut lantaran aksesnya yang tidak terlalu jauh dan tidak membutuhkan biaya tambahan.
Sementara itu, dengan adanya perpanjangan masa berlaku hasil tes PCR dan rapid test memberi kelonggaran bagi masyarakat yang akan melakukan perjalanan. Okupansi hotel diharapkan dapat tumbuh seiring meningkatnya mobilitas masyarakat.
Baca Juga: PHRI: Pembukaan pariwisata akan meningkatkan lagi okupansi hotel
"Pertumbuhan okupansi hotel kerap tumbuh paralel dengan jumlah penumpang jalur udara. Hal ini terjadi mengingat sebagian besar perjalanan bisnis dan wisata dilaksanakan lewat jalur ini," katanya.
Maulana mengatakan, okupansi hotel sangat bergantung pada pergerakan orang lewat udara. Karena pesawat menjadi sumber pergerakan utama, terutama di negara kepulauan seperti Indonesia.
Selain itu menurutnya, pengaruh pelonggaran ini kepada okupansi tak akan tinggi. Mengingat masyarakat bakal mempertimbangkan biaya perjalanan jarak jauh dengan menggunakan pesawat terbang yang cenderung lebih tinggi. Peningkatan okupansi sendiri berpotensi banyak terjadi di destinasi yang dekat dengan daerah asal wisatawan.
Baca Juga: PHRI: Sampai akhir 2020, industri hotel masih sulit penuhi target okupansi
"Mungkin di destinasi tersebut ada imbasnya, tapi kenaikan juga tidak signifikan, mungkin di kisaran 20% pada hari tertentu. Di sisi lain wisata jarak dekat durasinya juga tidak lama," ujar Maulana.
Asal tahu saja, masa berlaku hasil rapid test dan PCR diperpanjang dari yang mulanya 3 hari dan 7 hari menjadi 14 hari seiring terbitnya Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 No. 09/2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News