Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) kesulitan untuk memenuhi baku mutu emisi, khususnya bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara.
Standar emisi yang dimaksud diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.15/MENLHK/SETJEN/Kum.1/2019 tentang baku mutu emisi pembangkit listrik tenaga thermal.
Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, regulasi tersebut mengatur adanya pengetatan baku mutu emisi untuk pembangkit eksisting maupun pembangkit yang baru dan akan dibangun. Antara lain dengan parameter gas S02 pada pembangkit eksisting yang diperketat dari 750 mg per nm3 menjadi 550 mg per nm3.
Menurutnya, beleid tersebut sangat berdampak terhadap PLTU eksisting. Padahal, kata Zulkifli, selama dibangun dan beroperasi pembangkit-pembangkit tersebut telah memenuhi aturan emisi berdasarkan regulasi terdahulu, yakni Permen LHK No.21 Tahun 2008.
Baca Juga: Jaga pasokan, begini strategi PLN untuk akuisisi tambang batubara
Tak hanya bagi PLTU eksisting, dia menyebut aturan baru tersebut berdampak pada sejumlah PLTU yang sedang dalam tahap pembangunan dan sejumlah PLTU yang sudah menandatangani kontrak jual beli listrik (PPA) sebelum Permen LHK P.15/2019 diundangkan.
"Berdasarkan kondisi operasi saat ini terdapat beberapa unit pembangkit eksisting yang perlu dilengkapi dengan alat pengendali emisi, baik untuk mengendalikan emisi S02 maupun pengendalian N0x," terang Zulkifli dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI yang digelar Selasa (25/8).
Dengan adanya penyesuaian itu, Zulkifli mengatakan bahwa hal tersebut bisa berdampak terhadap peningkatan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sekitar Rp 104 per kilowatt hour (kWh). Akibatnya, akan ada penambahan beban subsidi listrik yang bisa mencapai sekitar Rp 10,7 triliun per tahun.
Dalam upaya memenuhi baku mutu emisi, Zulkifli menyebut pihaknya sudah melakukan pengendalian kadar sulfur batubara pembakaran dan pengalihan bahan bakar pada pembangkit thermal. "Yaitu coal mixing dan menggantikan penggunaan HSD dan MFO ke bahan bakar gas dan biofuel 30% atau B30," jelas Zulkifli.
Sementara itu upaya lain yang sedang dan akan dilakukan PLN antara lain, pertama, dengan penggunaan teknologi rendah karbon pada PLTU batubara melalui Super Critical dan Ultra Super Critical. Kedua, pemasangan Continous Emisssion Monitoring System (CEMS) pada semua PLTU dengan kapasitas di atas 25 MW. "Ini untuk melakukan pengendalian emisi secara realtime," sebutnya.
Ketiga, dengan melakukan co-firing yaitu pemanfaatan biomassa atau sampah sebagai pencampur batubara untuk bahan bakar PLTU. Skema ini telah diuji coba oleh PLN pada 9 PLTU. "Akan dilanjutkan uji coba di PLTU lainnya secara bertahap," imbuh Zulkifli.
Baca Juga: Dirut PLN: Akibat Covid-19, penerimaan listrik anjlok Rp 3 triliun per bulan
Sedangkan upaya yang baru akan dilakukan PLN adalah pemasangan pengendali emisi. Nah, untuk menjalankan program ini pasalnya tidak lah mudah. Menurut Zulkifli, pemasangan pengendali emisi pada pembangkit eksisting memerlukan waktu selama 2 tahun-3 tahun, lantaran perlu disesuaikan dengan jadwal pemeliharaan pembangkit.
Dengan mempertimbangkan tantangan dan dampak dari pemberlakuan baku mutu emisi baru tersebut, Zulkifli mengatakan pihaknya sudah berkoordinasi secara intenfis dengan pihak KLHK. "Sehingga dimungkinkan adanya masa transisi pemenuhan Permen KLHK P.15/2019," tuturnya.
PLN pun meminta adanya masa transisi dan tenggat waktu pemasangan pengendali emisi selama kurang lebih 10 tahun. Berbarengan dengan itu, PLN sedang menyusun roadmap dalam pemenuhan baku mutu dan pemasangan pengendali emisi.
Zulkifli bilang, saat ini pihaknya sedang dalam supervisi KLHK untuk menyusun roadmap yang ditargetkan selesai tahun ini. "Langkah tersebut diambil dengan pertimbangan penerapan regulasi baru. PLN mencari keseimbangan terbaik untuk melakukan perbaikan secara bertahap, dan semaksimal mungkin menekan kenaikan BPP yang pada akhirnya membebani keuangan negara," ujarnya.
Baca Juga: Sri Mulyani sebut pembiayaan utang capai Rp 519,2 triliun hingga akhir Juli 2020
Selain itu, PLN juga mengusulkan agar Permen KLHK P.15/2019 tidak berlaku surut. Dengan begitu, baku mutu emisi yang diatur dalam beleid tersebut ditekankan bagi pembangkit baru, sedangkan pembangkit eksisting mengikuti aturan yang lama. "Sehingga masa transisi lebih soft, karena sebetulnya pembangkit eksisting sudah compply," kata Zulkifli.
Dalam kesempatan yang sama, Komisi VII DPR RI mendesak PLN agar berkoordinasi dengan Kementerian ESDM dan KLHK untuk menyikapi persoalan pemenuhan baku mutu emisi ini. "serta menyiapkan roadmap, kebutuhan investasi untuk perubahan teknologi pembangkit listrik dalam masa transisi dan pemenuhan Permen KLHK P.15/2019," ungkap Ketua Komisi VII Sugeng Suparwoto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News