Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakan impor cukup merugikan para pelaku usaha ritel. Kinerja industri ritel pun terancam makin lesu akibat ketidakpastian kebijakan tersebut.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan, sejak Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36 Tahun 2023 diberlakukan mulai 10 Maret 2024, banyak importir barang-barang merek global yang kesulitan melakukan impor karena harus mengurus dokumen pertimbangan teknis (Pertek).
Proses pengajuan Pertek berlangsung lama karena banyak syarat yang ternyata tidak sesuai dengan konteks di industri ritel, seperti berkaitan dengan lisensi hingga penyewaan gudang.
"Kami mendukung Pertek, tapi minta waktu lebih untuk memenuhi persyaratan Pertek tersebut," kata Budihardjo dalam diskusi media, Jumat (5/7).
Baca Juga: Larangan Zonasi Penjualan Rokok Resahkan Pengusaha Rokok
Akibatnya, sudah tiga bulan terakhir para peritel barang merek global sulit memenuhi pasokan di pasar domestik. Jika terus dibiarkan, konsumen barang branded yang notabene berasal dari kalangan atas akan memilih berbelanja di luar negeri. Hal ini justru membuka celah baru yakni menjamurnya bisnis jasa titip.
Meski beleid impor sudah direvisi hingga tiga kali, kondisi di industri ritel tidak banyak berubah. Para peritel justru menganggap pemerintah gagal memahami masalah importasi yang sesungguhnya. Bahkan, ada kesan pemerintah memukul rata aktivitas impor yang dibatasi.
"Di sisi lain, impor ilegal hampir tak tersentuh oleh pemerintah," cetus Budihardjo.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia Suryamin Halim turut menyesalkan kebijakan impor pemerintah yang menyulitkan peritel barang branded yang sudah jelas resmi dan membayar berbagai jenis pajak.
Padahal, para peritel merek global melakukan impor karena mayoritas produk mereka berstatus barang mewah yang tidak diproduksi di Indonesia dan tidak dijual di pasar tradisional.
Segmentasi konsumennya juga berbeda, sehingga produk merek global tidak diposisikan menjadi pesaing bagi produk lokal.
Lebih lanjut, Apregindo juga merasa diperlakukan tidak adil karena faktanya banyak produk impor ilegal seperti pakaian jadi dan alas kaki yang mudah ditemukan di pasar maupun e-commerce.
Produk ilegal ini dihargai sangat murah. Suryamin memberi contoh, satu set pakaian dewasa hasil impor ilegal bisa dibeli dengan harga Rp 140.000 atau bahkan lebih murah dari itu.
Di sisi lain, pakaian dewasa produksi lokal dengan lisensi merek global ada yang dihargai sekitar Rp 300.000, karena ada biaya sertifikat SNI hingga royalti ke pemilik merek.
"Bisa jadi global brand yang punya pabrik di sini akan pindah kalau banyak barang ilegal," ujar Suryamin dalam acara yang sama, Jumat (5/7).
Baca Juga: Pengusaha Ritel Keberatan Atas Zonasi Penjualan Produk Tembakau di RPP Kesehatan
Pusat Belanja Sepi
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Wijaya menambahkan, ketidakpastian kebijakan impor tentu merugikan pusat perbelanjaan, baik untuk segmen kelas atas maupun menengah ke bawah.
Mal kelas atas yang populasinya sekitar 5% di Indonesia terancam sepi karena peritel merek global kesulitan memenuhi stok barangnya.
Setali tiga uang, mal kelas menengah ke bawah dengan populasi 65% di Tanah Air juga bakal sepi karena para peritel di sana kalah saing dengan produk impor ilegal.
Para peritel di masing-masing mal pun terancam menutup gerainya dan kesulitan berekspansi.
"Ada potensi stagnansi pertumbuhan industri ritel di Indonesia," imbuh dia, Jumat (5/7).
APPBI sempat memproyeksikan rata-rata tingkat okupansi pusat perbelanjaan di Indonesia berada di level 90% pada 2024 atau menyamai capaian sebelum pandemi Covid-19.
Namun, akibat polemik kebijakan impor, target rata-rata tingkat okupansi pusat perbelanjaan nasional direvisi menjadi hanya 80% tahun ini. Target ini pun cukup sulit dipenuhi karena momentum high season tinggal tersisa libur natal dan tahun baru (nataru) saja.
Sementara itu, Budiharjo mendesak pemerintah agar lebih serius memberantas dan mengurangi pasar bagi produk-produk impor ilegal, karena hal itu jelas sangat merugikan para peritel resmi yang sudah mematuhi seluruh aturan dan prosedur pemerintah.
"Selama produk ilegal dibiarkan, rencana seperti revisi aturan impor ataupun kenaikan bea masuk berkali-kali lipat tidak akan menjadi solusi yang tepat sasaran," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News