kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.415.000   -13.000   -0,54%
  • USD/IDR 16.600   -6,00   -0,04%
  • IDX 8.089   173,32   2,19%
  • KOMPAS100 1.119   28,59   2,62%
  • LQ45 796   23,97   3,10%
  • ISSI 285   3,86   1,37%
  • IDX30 415   14,34   3,58%
  • IDXHIDIV20 470   17,22   3,80%
  • IDX80 124   2,97   2,46%
  • IDXV30 133   4,48   3,48%
  • IDXQ30 131   4,31   3,39%

Polemik Kebijakan Migas di Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo–Gibran


Senin, 20 Oktober 2025 / 18:02 WIB
Polemik Kebijakan Migas di Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo–Gibran
ILUSTRASI. An oil pump of IPC Petroleum France is seen at sunset outside Soudron, near Reims, France, August 24, 2022. REUTERS/Pascal Rossignol. Tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran dinilai masih diwarnai berbagai polemik di sektor minyak dan gas bumi (migas).


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dinilai masih diwarnai berbagai polemik di sektor minyak dan gas bumi (migas). Kalangan pelaku usaha menilai sejumlah kebijakan energi belum matang dan kurang melibatkan pemangku kepentingan.

Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan bahwa berbagai kebijakan yang diambil sepanjang satu tahun terakhir justru menimbulkan dampak negatif terhadap pelaku usaha, masyarakat, hingga iklim investasi.

“Kami melihat ada beberapa polemik signifikan yang tidak bisa diabaikan. Pemerintah harus lebih bijak dalam membuat kebijakan karena setiap keputusan di sektor migas berdampak luas pada ekonomi, sosial, dan investasi,” ujar Moshe kepada Kontan, Senin (20/10).

Baca Juga: Manulife Indonesia Luncurkan Produk Baru untuk Perluas Pilihan Unitlink

Kebijakan yang Belum Matang

Salah satu contoh yang disorot Aspermigas adalah polemik subsidi dan distribusi LPG 3 kilogram yang sempat menimbulkan keresahan masyarakat. Menurut Moshe, niat pemerintah menata ulang kebijakan energi memang baik, namun pelaksanaannya kerap tidak diiringi dengan kesiapan sistem dan komunikasi yang memadai.

“Niatnya baik, tapi kalau tidak matang justru menimbulkan gejolak baru. Jangan sampai kebijakan yang sama terulang,” kata Moshe.

Moshe juga mengkritisi kebijakan legalisasi sumur minyak rakyat, yang dinilai menambah risiko keselamatan dan lingkungan. Menurutnya, eksplorasi dan produksi migas seharusnya dilakukan oleh pihak profesional yang memiliki keahlian dan izin resmi.

"Solusinya bukan melegalkan yang ilegal, tapi menata dan menyerahkan pengelolaan kepada profesional. Banyak kasus kebakaran dan korban jiwa terjadi karena kurangnya pengawasan,” tegasnya.

SPBU Swasta Masih Tertekan

Aspermigas juga menyoroti kelangkaan BBM non-subsidi di sejumlah SPBU swasta yang disebut muncul akibat ketimpangan pasokan dan kebijakan harga antara Pertamina dan operator non-BUMN.

Moshe menyebut kondisi ini merugikan masyarakat dan memukul keberlangsungan usaha operator swasta.

“Banyak SPBU swasta kini sepi bahkan berhenti beroperasi. Cash flow terganggu, karyawan dirumahkan. Ini masalah yang sebenarnya mudah diselesaikan jika pemerintah mau duduk bersama semua pihak,” ujarnya.

Moshe menambahkan, kondisi ini juga berdampak pada reputasi Pertamina karena masyarakat sering kali menilai kelangkaan BBM sebagai kesalahan perusahaan pelat merah tersebut.

“Padahal ini bukan sepenuhnya kesalahan Pertamina. Akibatnya citra Pertamina dan Kementerian ESDM menjadi negatif, seolah mendukung praktik monopoli,” kata Moshe.

Catatan dari Investor

Baca Juga: Prabowo: 1,4 Miliar Porsi Makan Bergizi Gratis Sudah Dibagikan Sejak Awal Tahun

Aspermigas mencatat sejumlah kebijakan lain yang menimbulkan ketidakpastian, antara lain rencana penghentian ekspor gas (yang kemudian dibatalkan), polemik dana hasil ekspor (DHE) yang tidak mencakup gas, serta rencana penerapan campuran etanol 10% (E10) yang belum terimplementasi.

“Setiap kebijakan yang berubah-ubah atau tidak konsisten akan dicatat oleh pengusaha dan investor. Ini bukan hal sepele,” kata Moshe.

Moshe menegaskan, sektor migas membutuhkan kepastian hukum dan kebijakan karena investasi di bidang ini bersifat jangka panjang dengan risiko tinggi.

“Calon investor akan berpikir dua kali melihat iklim yang tidak kondusif,” katanya.

Perlu Pembenahan Kelembagaan

Moshe menilai, pemerintah perlu memperkuat koordinasi antar-lembaga agar kebijakan migas tidak diambil secara tergesa-gesa tanpa analisis dampak yang menyeluruh.

“Kebijakan jangan dikeluarkan dulu baru dilihat reaksinya. Itu bukan cara yang profesional,” ujarnya.

Aspermigas berharap pemerintah lebih terbuka melibatkan pelaku industri dalam perumusan kebijakan agar sektor migas kembali menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi dan menarik bagi investor asing.

Arah Hilirisasi Dinilai Belum Tegas

Di sisi lain, Praktisi migas Hadi Ismoyo menilai, pemerintah juga belum menunjukkan arah kebijakan hilirisasi migas yang tegas, terutama dalam pengembangan infrastruktur gas dan transisi dari bahan bakar minyak (BBM) ke gas.

“Hilirisasi migas sebenarnya jauh lebih dulu dan lebih baik dari minerba. Sejak era Soeharto kita sudah bangun kilang di Dumai, Cilacap, Balikpapan, LNG Plant di Arun, Bontang, Tangguh, serta petrokimia seperti Pupuk Iskandar Muda, Pusri, dan Petrokimia Gresik,” ujar Hadi kepada Kontan, Senin (20/10).

Namun, ia menilai akar masalah ada pada ketidaktegasan pemerintah dalam mendorong konversi BBM/LPG ke gas serta minimnya insentif untuk pembangunan jaringan gas nasional.

“Pemerintah tidak tegas membuat program konversi BBM/LPG ke gas yang lebih murah dan bisa menekan subsidi. Akibatnya, Pertamina yang revenue-nya besar dari BBM juga tidak semangat membangun jaringan gas,” jelasnya.

Hadi menambahkan, kelangkaan BBM non-subsidi di SPBU swasta menjadi bukti lemahnya sistem distribusi dan perlindungan terhadap badan usaha non-BUMN.

“Karena sistem kita terbuka, masuknya SPBU asing sesuai regulasi. Tapi SPBU swasta juga harus dilindungi agar tercipta iklim investasi yang sehat dan kompetitif,” ungkapnya.

Baca Juga: Prabowo Bakal Tambah Dana LPDP, Gunakan Hasil Sitaan Korupsi CPO Rp 13 Triliun

Proyek Kilang Masih Seret

Hadi menilai, pembangunan kilang minyak terus tertunda karena kebutuhan investasi yang besar, margin tipis, dan masa balik modal yang panjang.

“Membangun kilang seperti GRR Tuban 300.000 bph butuh US$24 miliar. Teknologinya tinggi, margin kecil, dan tren menuju NZE membuat bisnis kilang makin tak menarik,” jelasnya.

Sebagai alternatif, Hadi mengusulkan pembangunan storage BBM (tank farm) di lima titik strategis sebagai solusi realistis dengan biaya investasi lebih rendah.

“Kalau diganti pembangunan storage BBM masing-masing 2 juta barrel, hanya butuh sekitar US$2,5 miliar dan waktu balik modal lebih pendek,” sarannya.

Hadi juga mendorong pemerintah menugaskan Kementerian ESDM atau Pertamina untuk mempercepat pembangunan infrastruktur gas di Pulau Jawa, termasuk pipa distribusi dan virtual pipeline ke kawasan industri.

“Pemerintah bisa tugaskan KESDM atau Pertamina bangun infrastruktur gas besar-besaran, didukung FSRU di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,” katanya.

Reformasi Tata Kelola

Ia juga menyoroti lemahnya tata niaga migas, mulai dari kasus BBM oplosan hingga korupsi minyak mentah, yang mencerminkan lemahnya kepemimpinan dan tata kelola sektor energi.

“Akar masalahnya adalah lemahnya team leader di institusi terkait, yang tidak punya visi negarawan dalam membangun korporasi pelayanan publik,” tegasnya.

Sebagai langkah perbaikan, Hadi mengusulkan reformasi menyeluruh, mulai dari konversi energi, pembangunan infrastruktur gas, pengembangan storage yang efisien, hingga redesign subsidi LPG berbasis satu data nasional.

Baca Juga: Pertamina Masih Negosiasi dengan SPBU Swasta Soal Pasokan BBM

Selanjutnya: Manulife Indonesia Luncurkan Produk Baru untuk Perluas Pilihan Unitlink

Menarik Dibaca: 6 Pantangan Makanan untuk Kulit Sensitif yang Wajib Tahu, Awas Gatal-Gatal!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×