kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Potensi Melimpah, Industri Panas Bumi Butuh Akselerasi dari Pemerintah


Senin, 15 Agustus 2022 / 16:41 WIB
Potensi Melimpah, Industri Panas Bumi Butuh Akselerasi dari Pemerintah
ILUSTRASI. Potensi panas bumi yang melimpah dinilai menjadi peluang untuk mendorong Indonesia menjadi pusat industri panas bumi skala global. ANTARA FOTO/Adwit B Pramono/aww.


Reporter: Filemon Agung | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya pengembangan panas bumi dinilai memerlukan akselerasi ekstra dari pemerintah sebagai regulator.

Potensi panas bumi yang melimpah dinilai menjadi peluang untuk mendorong Indonesia menjadi pusat industri panas bumi skala global.

Presiden Direktur PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Ahmad Yuniarto mengungkapkan, dengan menjadi pusat industri panas bumi dunia maka secara otomatis ketahanan energi yang ditopang oleh panas bumi dapat terwujud.

Baca Juga: Memompa Uap Panas Perut Bumi demi Menerangi Sulawesi

Menurutnya, panas bumi menjadi salah satu energi baru terbarukan yang paling relevan untuk menjadi sumber daya energi utama untuk memenuhi kebutuhan nasional.

"Indonesia sangat potensial untuk panas bumi karena melimpahnya sumber daya. Listrik yang dihasilkan dari panas bumi juga sangat stabil dan masih ada ruang agar biayanya kompetitif dan energi panas bumi sangat kompeten sebagai base load pembangkit listrik untuk sistem kelistrikan apapun," ujar Yuniarto dalam keterangan resmi, Senin (15/8).

Yuniarto melanjutkan, untuk bisa mengejar target dekarbonisasi, pengembangan panas bumi tidak bisa dilakukan dengan praktik bisnis yang biasa. Selain, peran pelaku usaha, akselerasi dari regulator juga diperlukan.

Ia mencontohkan, sektor bisnis green hydrogen yang merupakan roduk lanjutan dari panas bumi, pengembangannya bisa memberikan efek berantai (multiplier effect) luar biasa. Namun pengembangannya membutuhkan dana yang tidak sedikit sehingga ini menjadi tantangan yang harus dijawab oleh PGE.

"Kita bisa jadikan geothermal sebagai green economy memberikan efek terhadap Indonesia. Kondisi itu memberikan value lebih banyak ke Indonesia hanya saja bisakah kiga memproyeksikan green hydrogen dengan biaya efisien," ungkap Yuniarto.

Ia menjelaskan, PGE sudah menjalin koordinasi dengan beberapa Kementerian untuk pemanfaatan green hydrogen. PGE juga akan mencari mitra strategis untuk pengembangan bisnis baru ini. Tidak hanya untuk bisnis panas bumi mitra nanti juga diharapkan bisa membawa teknologi serta pendanaan untuk pengembangan green hydrogen.

Green hydrogen diyakini bisa dikembangkan berdampingan dengan potensi panas bumi karena cadangannya juga disekitar cadangan panas bumi. Indonesia yang memiliki cadangan panas bumi besar tentu memiliki keuntungan besar. 

“Ke depan, green hydrogen tidak hanya diminati dari dalam tapi juga dari luar negeri,” imbuh Yuniarto.

Saat ini kapasitas terpasang panas bumi oleh PGE mencapai 1.887 MW. Dari jumlah tersebut, sebesar 1.205 MW dikelola bersama mitra dan 672 MW dioperasikan sendiri oleh PGE.

Dalam 10 tahun ke depan, PGE menargetkan dapat meningkatkan kapasitas terpasang energi bersih yang bersumber dari panas bumi hingga dua kali lipat lebih dari yang saat ini dioperasikan sendiri oleh PGE. 

Baca Juga: PLN Tegaskan Hak Atas Penerbitan REC, Begini Respons Asosiasi Energi Baru Terbarukan

Pada 2030, PGE menargetkan dapat meningkatkan kapasitas terpasang yang dikelola langsung PGE menjadi 1.540 MW. 

“Ini artinya di tahun 2030 PGE berpotensi untuk bisa memberikan kontribusi potensi pengurangan emisi sebesar 9 juta ton CO2 per tahun, dan menargetkan menjadi tiga besar perusahaan produsen panas bumi di dunia,” kata Yuniarto.

Vice President Geothermal PT Perusahaan Listrik Negara Hendra Yu Tonsa Tondang mengungkapkan, masalah krusial dalam pengembangan panas bumi adalah adanya gap tarif listrik dan keeknomian proyek. Hal itu sangat menentukan untuk kelangsungan panas bumi.

Menurutnya, ada beberapa instrumen untuk mengisi atau menutup gap tersebut, antara lain penerapan carbon tax, menurunkan  biaya pokok produksi listrik di Indonesia Timur, insentif belanja modal, government drilling, green/clean energy fund dan penerapan teknologi yang tepat sehingga bisa meningkat success ratio proyek. 

"Kita tahu sekarang pemerintah sedang melakukan eksplorasi program, goverment drilling," kata Hendra. 

Hendra menjelaskan, tarif listrik EBT sampai sekarang masih tinggi ketimbang fosil. Untuk itu campur tangan pemerintah masih sangat dibutuhkan untuk mendorong pemanfaatan EBT secara maksimal. 

"Kita membutuhkan kebijakan dari pemerintah, khususnya tarif. Ketika tarif lebih tinggi dari BPP akan meningkatkan subsidi juga," pungkas Hendra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×