Reporter: Dadan M. Ramdan, Anastasia Lilin Y, Umar Idris | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Ngitung pajak? Gampaaang! 1% x omzet. 1 Cara. 1 Tarif. 1%. Begitu kata iklan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang belakangan menghiasi halaman sejumlah media cetak. Pariwara ini merupakan salah satu bentuk sosialisasi pajak penghasilan sebesar 1% dari omzet bagi pelaku usaha dengan omzet tidak lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun, atau beken dengan sebutan pajak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Tapi praktiknya, baru segelintir pelaku UMKM yang membayar pajak tersebut. Tengok saja, Ilham, pemilik kios tekstil di lantai 1 Blok G Pasar Tanah Abang, Jakarta, yang belum menyetorkan pajak UMKM. Begitu juga dengan Santanu, pemilik kios sepatu di lantai 1 Blok G, dan Amril, pemilik warung makan di Blok F Tanah Abang. “Saya sudah dengar soal pajak UMKM, tapi sampai sekarang sepertinya masih sosialisasi saja,” kilah Amril.
Padahal, sejak berlaku 1 Juli 2013 lalu, pemilik usaha sudah harus menyetorkan pajak UMKM ke kantor pajak terdekat, paling lambat tanggal 15 saban bulan. Soalnya, pajak ini dipungut tiap bulan.
Dan, Pasar Tanah Abang menjadi salah satu target utama Ditjen Pajak dalam perburuan pajak UMKM. Bagaimana tidak? Perputaran duit di pasar tekstil dan produk tekstil terbesar di Asia Tenggara ini sangat gede. Hitungan Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), nilai perdagangan tekstil dan produk tekstil di Tanah Abang mencapai 40% dari total perdagangan tekstil dan produk tekstil nasional. “Tahun lalu, nilai perdagangan secara nasional mencapai US$ 7,6 miliar,” ungkap Ade.
Ini berarti, perputaran uang dalam bisnis tekstil dan produk tekstil di Tanah Abang tahun lalu mencapai US$ 3,04 miliar atau sekitar Rp 30 triliun. Kalau dikalikan 1%, maka pendapatan pajak dari Tenabang sebesar Rp 100 miliar setahun. Itu baru hitung-hitungan pajak UMKM. Sebab, pasti ada pedagang di Tanah Abang yang omzetnya lebih dari Rp 4,8 miliar dan tarif PPh-nya lebih besar.
Baru Rp 1,49 miliar
Cuma, Ditjen Pajak mencatat, selama ini penerimaan pajak dari pedagang di Tanah Abang cuma Rp 1,49 miliar per tahun. Padahal, berdasarkan perkiraan kantor pajak, pusat grosir terbesar di Indonesia ini bisa menyetor pajak ke negara hingga Rp 66,34 miliar setahun.
Perkiraan ini mengacu ke hasil Sensus Pajak Nasional (SPN) yang dilakukan tahun lalu dan tahun ini yang menunjukkan, ada 8.000 kios di Blok A dan 3.821 kios di Blok B Pasar Tanah Abang. Dari jumlah kios itu, cuma 3.151 pemilik kios yang sudah terdaftar sebagai wajib pajak. Naasnya, dari jumlah wajib pajak yang terdaftar tersebut yang membayar pajak cuma 262 pemilik kios atau 2,2% dari total kios, dan 8,3% dari wajib pajak terdaftar.
Perinciannya, ada sekitar 200-an pemilik kios di Blok A yang membayar pajak per bulan rata-rata Rp 500.000 per kios. Sedang di Blok B hanya ada 62 wajib pajak yang rutin membayar pajak Rp 400.000 per bulan. “Seharusnya pajak yang dibayarkan pedagang Pasar Tanah Abang bisa lebih besar dari kondisi sekarang,” kata Chandra Budi, Kepala Seksi Hubungan Eksternal Ditjen Pajak.
Saat ini, omzet rata-rata pedagang Pasar Tanah Abang sekitar Rp 10 juta per hari. Pada bulan puasa dan menjelang lebaran, penghasilan tiap kios diperkirakan melonjak hingga Rp 25 juta per hari.
Sejak pajak UMKM berlaku, Chandra bilang, pelaku usaha yang membayar pajak tersebut memang masih sedikit. Cuma, dia belum mengantongi data pastinya. “Belum ada rekapannya dari kantor pajak di Tanah Abang,” kata Chandra.
Lagipula, Candra menambahkan, pajak UMKM relatif masih baru dan masih dalam tahap sosialisasi. Yang terpenting buat pemerintah sekarang adalah terus mendorong pelaku UMKM taat membayar pajak. “Tidak mudah mengubah pola pikir dan kebiasaan itu, butuh waktu dan pendekatan,” imbuh Chandra.
Menurut Chandra, penerimaan pajak UMKM dari Pasar Tanah Abang dan pengusaha kecil lain di seluruh Indonesia baru akan kelihatan setelah dua tahun sampai empat tahun mendatang. Jadi, “Ini target jangka panjang,” ujarnya.
Sejatinya, pedagang di Tanah Abang tidak keberatan dengan kewajiban membayar pajak. Asalkan, pemungutan pajak ini tidak dijadikan ajang pemerasan preman berdasi atau kegiatan politik. “Janganlah melakukan hal-hal yang meresahkan pedagang,” harap Amril.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 46 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News