Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Prabowo Subianto menolak konsep power wheeling yang tengah dibahas dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Pernyataan ini disampaikan oleh Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya bilang bahwa dinamika pembahasan ketenagalistrikan terus berkembang.
"Ya, itu kan semua dinamika terkini soal bagaimana kita membangun sistem ketenagalistrikan kita ke depan. Semuanya punya reasoning yang kuat untuk didiskusikan," kata Bambang kepada Kontan, Senin (3/3).
Bambang mengungkapkan, seluruh aspirasi akan dipertimbangkan, termasuk pertimbangan dari pemerintah.
"Soal apakah akan dimuat dalam RUU EBET, tentunya akan berdasarkan apa yang menjadi kesepakatan bersama. Jadi kita tunggu saja," imbuhnya.
Sementara itu, anggota Komisi XII DPR RI, Eddy Soeparno menjelaskan, konsep power wheeling diajukan untuk mempercepat transisi energi dan meningkatkan porsi energi terbarukan di Indonesia dengan memungkinkan swasta berpartisipasi. Namun, Eddy menegaskan konsep ini memiliki batasan.
Baca Juga: IESR: Potensi EBT Indonesia Sampai 333 GW, Paling Tinggi Potensi PLTS
"Pertama, hanya terkait sumber energi terbarukan saja. Kedua, tidak boleh dijual kepada rumah tangga, hanya kepada industri yang mau membeli sesuai dengan harga kesepakatan antara penyedia listrik dan pembeli," kata Eddy kepada Kontan, Senin (3/3).
Menurut Eddy, power wheeling memungkinkan industri yang bersedia membayar lebih mahal demi mendapatkan energi terbarukan dari pembangkit listrik yang memproduksinya.
"Namun, kembali lagi, kami membuka opsi untuk membahasnya lebih lanjut dengan Kementerian ESDM dengan konsep power wheeling terbatas," pungkasnya.
Adapun, penolakan Presiden Prabowo terhadap konsep power wheeling dalam RUU EBET dinilai justru akan menghambat target transisi energi di Indonesia.
Direktur Eksekutif Center of Economic and law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menilai penolakan ini akan berdampak pada menurunnya minat investor di sektor pembangkit EBT dalam negeri.
"Ini justru hambatan dari transisi energi, membuat minat investor turun," kata Bhima kepada Kontan, Jumat (28/2).
Dengan penolakan ini juga, akan berdampak pada monopoli listrik lebih besar dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dinilai akan berdampak pada target bauran energi 71 gigawatt (GW) yang mayoritas memanfaatkan EBT.
"Kalau dimonopoli baik pembangkit maupun transmisinya, tidak akan bergerak itu ke target 71 GW seperti yang ditargetkan oleh Presiden Prabowo. Kemudian bauran energi terbarukan akan stuck di 23% pada 2030," kata dia.
Baca Juga: PLN Indonesia Power Targetkan Dua Mega Proyek EBT Sumbang Listik 2,4 GWh pada 2035
Bhima juga menjelaskan bahwa power wheeling bukan berarti memberikan karpet merah terhadap investor asing. Karena nantinya dalam peraturan, yaitu dalam UU EBET dapat diatur skema power weeling terbatas.
"Jangan diartikan ini untuk investor asing. Kan bisa diatur power wheeling terbatas, untuk komunitas-komunitas, badan usaha milik desa, yang menjual surplus listriknya dengan meminjam jaringan transmisi PLN," jelas dia.
Selanjutnya: Catat Jadwal Imsakiyah Kendari Hari Ini, 5 Maret 2025 atau 5 Ramadhan 1446 H
Menarik Dibaca: Jadwal Imsakiyah Ramadhan 2025 Kota Palembang dan Sekitarnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News