Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
Pada sisi yang lain, lembaga konsumen memberikan catatan kritis yang kontra terhadap penundaan cukai MBDK. Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Rafika Zulfa menyoroti langkah pemerintah yang terus menunda pungutan cukai MBDK.
Padahal, menurut YLKI, penerapan cukai akan menekan pola konsumsi terhadap produk MBDK sekaligus akan berdampak positif bagi pendapatan negara.
Merujuk survei yang dilakukan oleh YLKI pada tahun 2023, sekitar 26% konsumen usia anak dan remaja gemar mengkonsumsi produk MBDK hampir setiap hari.
"Konsumen bisa dengan mudah menemukan produk MBDK. Selain itu, aksesibilitas harga menjadi peran penting ketika konsumen membeli produk, MBDK di Indonesia banyak yang dibanderol dengan harga yang relatif murah, dibalik fakta tersebut ditemukan juga kandungan gula yang tinggi dari setiap produk," kata Rafika kepada Kontan.co.id, Senin (15/12/2025).
Baca Juga: Bentoel Group Usul Penurunan Cukai Rokok, Ini Alasannya!
Survei YLKI juga menemukan sekitar 85% konsumen setuju diberlakukan cukai untuk MBDK. Bahkan, konsumen menyarankan untuk tarif cukai yang signifikan yaitu lebih dari 20% dari harga produk, untuk memastikan cukai MBDK akan memberikan efek yang berarti.
"YLKI melihat ini merupakan bom waktu terjadinya penyakit tidak menular di kemudian hari terutama untuk konsumen usia muda," terang Rafika.
YLKI meminta agar pemerintah mengkaji ulang keputusan penundaan cukai MBDK. Sekaligus menepati janji untuk berkomitmen menerapkan cukai MBDK tanpa adanya penundaan kembali, dengan tarif minimal 20% sebagai kontrol bagi konsumen dalam konsumsi produk MBDK.
"Evaluasi menyeluruh terhadap proses pembuatan kebijakan serta perencanaan penerapan cukai MBDK. Penundaan cukai MBDK memperlihatkan bahwa pemerintah tidak serius dalam penanganan masalah kesehatan khususnya mengenai pengendalian konsumsi MBDK," ujar Rafika.
Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) Tulus Abadi bahkan mendesak Presiden Prabowo Subianto agar membatalkan kebijakan Menkeu Purbaya terkait penundaan cukai MBDK.
Menurut Tulus, pengenaan cukai menjadi instumen yang tepat, apalagi ketika pemerintah memerlukan banyak biaya untuk pemulihan bencana ekologis, khususnya yang melanda Sumatra.
Tulus menyoroti sejumlah faktor yang membuat penundaan cukai MBDK ini menjadi blunder dari sisi kesehatan publik. Pertama, penundaan pengenaan cukai MBDK akan semakin mempermudah akses anak-anak dan remaja untuk mengonsumsi MBDK. Padahal, saat ini lebih dari 25% anak di Indonesia telah mengonsumsi MBDK setiap harinya.
Baca Juga: Menakar Dampak Cukai MBDK Terhadap Impor Gula Indonesia
"Tingginya konsumsi MBDK lebih dipicu oleh harganya yang murah dan akses pembelian yang sangat mudah. Fenomena ini akan menjadi pemicu utama kasus kegemukan dan obesitas pada anak anak, dan klimaksnya adalah ancaman diabetes pada anak, yang prevalensinya terus meningkat," terang Tulus.
Kedua, penundaan cukai akan mendorong tingginya prevalensi konsumsi produk MBDK pada orang dewasa, yang sudah mengalami peningkatan 14 kali lipat selama 10 tahun terakhir.
Ketiga, penundaan pengenaan cukai MBDK pada konteks regulasi merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan, yang memandatkan pengendalian dari sisi fiskal dan non-fiskal.
Tulus mengingatkan agar pemerintah tidak melakukan "barter" kesehatan publik dengan kepentingan ekonomi, khususnya untuk kalangan industri MBDK. Menurut Tulus, pengenaan cukai tidak akan meruntuhkan industri MBDK.
"Penundaan pengenaan cukai MBDK adalah ancaman serius terhadap upaya pemerintah yang punya cita-cita untuk mewujudkan bonus demografi dan bahkan generasi emas," tandas Tulus.
Selanjutnya: Bank Indonesia Diprediksi Pertahankan BI Rate 4,75% pada Desember 2025
Menarik Dibaca: Harga Emas Lanjut Naik Hari Kelima saat Pasar Saham Asia Keok
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













