Reporter: Bunga Claudya, Febrina Ratna Iskana | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Anjloknya harga minyak mentah dunia berdampak terhadap produksi PT Pertamina (Persero). Hingga semester I 2015, produksi minyak dan gas (migas) Pertamina hanya tumbuh tipis sebesar 6% dibandingkan periode sama tahun lalu.
Volume produksi perusahaan minyak pelat merah ini tercatat sebesar 550.890 juta barel setara minyak per hari (BPEPD). Rinciannya, 270.760 barel minyak per hari (BOPD) dan produksi gas sebanyak 1,60 billion standart cubic feed per day (BSCFD).
Produksi sebanyak itu turut disongkong oleh peningkatan produksi migas Pertamina di luar negeri. Sepanjang semester I, produksi minyak dari luar negeri rata-rata mencapai 37.5.000 BOPD, sedangkan produksi gas sebesar 88,25 MMSCFD.
Sementara itu, kinerja kilang-kilang Pertamina sepanjang semester I 2015 juga membaik dengan adanya pokok produksi kilang yang berhasil menyentuh level di bawah 100% terhadap harga impor.
Kondisi ini menunjukkan kilang-kilang Pertamina lebih efisien. Seiring dengan penambahan ruas pipa dan alokasi gas, bisnis transportasi gas Pertamina juga meningkat 4% menjadi 264,98 BSCF. Adapun bisnis niaga gas Pertamina menjadi 19,71 BSCF. Di sisi lain, penjualan LNG meningkat menjadi 38.750 BBTU.
Dengan produksi yang meningkat tipis, Pertmaina hanya bisa membukukan laba bersih sebesar US$ 570 juta selama semester I. Angka itu turun drastis dari periode sama tahun lalu yang bisa mencapai US$ 1,13 miliar.
Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto menuturkan, situasi industri migas saat ini memang sangat menantang di tengah anjloknya harga minyak dunia. Untuk Indonesia sendiri, harga acuan minyak atau Indonesia Crude Price (ICP) jatuh hingga mencapai separuh dari harga sebelumnya.
Hingga Juni 2015, ICP jatuh ke posisi US$ 59,4 per barel, jauh dari rata-rata ICP pada periode sama tahun 2014 sebesar US$ 106,6 per barel. Ditambah dengan penurunan nilai rupiah terhadap dollar Amerika membuat perusahaan migas seperti Pertamina semakin tertekan.
Rupiah sendiri saat ini sudah terdepreasiasi hingga lebih dari 10% dalam kurun waktu yang sama. "Banyak perusahaan di dunia melakukan aksi-aksi terobosan agar dapat survive, mulai dari pengurangan capex hingga pemangkasan tenaga kerja di awal tahun yang masih berlanjut hingga saat ini," ujar Dwi, Rabu (5/8).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News