kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Produktivitas yang rendah hingga kurangnya daya saing jadi hambatan ekspor rempah


Kamis, 25 Juni 2020 / 15:33 WIB
Produktivitas yang rendah hingga kurangnya daya saing jadi hambatan ekspor rempah
ILUSTRASI. Merebaknya wabah virus Covid-19 membuat rempah-rempah semakin diminati mayarakat. Pedagang di Pasar Bersih Sentul City, Babakan Madang, Kabupaten Bogor, menyediakan empon-empon karena minat masyarakat semakin tinggi membeli tanaman empon-empon yang lumrah


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perdagangan (Kemendag) membeberkan beberapa hambatan yang dialami dalam mengekspor rempah Indonesia.

Direktur Pengembangan Produk Ekspor Kementerian Perdagangan Olvy Andrianita menerangkan,salah satu hambatan tersebut adalah produktivitas rempah Indonesia yang masih kecil. 

Menurut Olvy, salah satunya disebabkan banyak pohon yang sudah tua.

Baca Juga: Hingga April 2020, ekspor rempah Indonesia naik 19,28% menjadi US$ 218,69 juta

Salah satu contohnya adalah lada. Produktivitas lada di Indonesia hanya sekitar 400 kilogram (kg) sampai 450 kg per hektare (ha), sementara bila dibandingkan dengan lada di Vietnam, produktivitasnya bisa mencapai 2 ton per ha.

Hambatan yang kedua adalah rendahnya kualitas produk ekspor. Menurut Olvy, hal ini disebabkan pengetahuan tentang budidaya yang tepat serta prosedur manajemen pasca panen di antara petani lokal.

"Pala misalnya, banyak petani yang mengambil buah pala itu dengan digoyang [pohonnya], sehingga kebanyakan buahnya jatuh sehingga kurang higienis," kata Olvy.

Selanjutnya, kurangnya daya saing produk atau kurang memiliki nilai tambah. Hal ini dikarenakan sebagian besar produk rempah Indonesia dijual dalam bentuk mentah (raw materials).

Baca Juga: Wow! Ini manfaat teh jahe untuk kesehatan tubuh

Lalu, ada penolakan negara importir seperti kandungan aflatoksin yang tinggi karena kurangnya penanganan selama proses pengeringan dan penyimpangan.

Hambatan selanjutnya adalah pengetatan larangan impor. Misalnya pengetatan regulasi untuk penggunaan insektisida jenis baru chlorpyrifos dan chlorpyrifos-methyl pada produk pangan yang berlaku pada 16 Februari 2020.

"Beberapa negara juga melakukan pengetatan untuk penggunaan insektisida. Rentu kita harus comply dengan regulasi yang ditetapkan oleh negara-negara tujuan," kata Olvy.

Tak hanya itu, Olvy juga mengatakan ada hambatan tambahan terhadao ekspor rempah selama Covid-19 berlangsung.

Hambatan-hambatan tersebut berkaitan dengan kebijakan negara yang memberlakukan karantina wilayah dan lockdown sehingga berkurangnya permintaan dari negara importir, adanya penurunan laboratorium untuk pengujian, penutupan bandar udar komersial internasional juga terputusanya rantai pasok global dan pendistribusian produk ke negara lain.

Baca Juga: Nikmatnya Sapo Mi di Sudut Tersembunyi

"Dengan banyaknya industri makanan, industri kuliner yang sementara tutup karena masa pandemi, Sehingga proses produksi ini tidak bisa didistribusikan dengan baik, ke pasar lokal maupun ke pasar dunia," kata Olvy.

Meski begitu. Olvy optimistis adanya rempah Indonesia masih sangat dibutuhkan meski di tengah pandemi Covid-19. Bahkan menurutnya, saat ini rempah menjadi produk yang diperlukan dan memiliki nilai tinggi mengingat rempah bermafaat bagi kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×