Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa hari yang lalu, Kementerian Perdagangan (Kemdag) mengatakan akan menetapkan aturan terkait alokasi produksi produsen minyak goreng.
Dalam aturan tersebut, 20% dari total produksi harus ditujukan untuk minyak goreng curah dan kemasan. Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng ini pun telah ditetapkan. Minyak goreng sederhana dihargai sebesar Rp 11.000 per liter, minyak curah seharga Rp 10.500 per liter, dan minyak goreng setengah liter dihargai Rp 6.000.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga pun mengatakan, produsen minyak goreng siap menjalankan aturan ini.
Dia berpendapat, produksi minyak goreng perlu dijaga mengingat bisa saja produsen minyak goreng beralih memproduksi produk lainnya seperti margarin, oleokimia, dan lainnya karena dianggap lebih menguntungkan.
Menurut Sahat, per 1 Januari 2020, semua minyak goreng yang diproduksi harus sudah berupa kemasan sederhana. "Kenapa saat ini diatur 20% supaya mengikat produsen tersebut melakukan investasi mesin. Itu penting," ujar Sahat kepada Kontan.co.id, Kamis (29/3)
Sahat membeberkan, kapasitas produksi minyak goreng dalam negeri sebesar 55 juta ton setiap tahunnya. Sementara, kebutuhan minyak goreng sebesar 3,9 juta ton dalam setahun.
Nantinya, untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng tersebut, diperlukan 2.231 unit mesin pengemasan. Sementara, hingga Kuartal I 2018, baru terpasang 152 unit pengemasan.
Sahat berpendapat, sebenarnya produsen minyak goreng siap menghasilkan minyak goreng dalam bentuk kemasan sederhana saat ini. Namun, masyarakat masih lebih tertarik untuk membeli produk yang lebih murah.
"Kami sampaikan ke Mendag kalaupun dipasang sekarang, orang tidak terlalu tertarik membeli karena harganya mahal," ujar Sahat.
Menurut Sahat, produsen meminta Kementerian Perdagangan berupaya supaya minyak goreng kemasan ini lebih diminati. Salah satunya adalah dengan memberikan insentif. Insentif tersebut dalam bentuk ppn ditanggung pemerintah (PPNDTP) hingga Desember 2019.
Pasalnya, minyak goreng dalam kemasan belum bisa bersaing dengan minyak goreng curah. Nantinya, minyak goreng kemasan yang mendapat insentif ini dijual dengan merek dagang Kementerian Perdagangan.
Tak hanya itu, Sahat pun menjelaskan minyak goreng Indonesia tidak dapat bersaing dengan negara lain karena adanya kebijakan Bea Keluar (BK) dan dana pungutan BPDP Kelapa Sawit.
Dia pun meminta supaya dana pungutan ekspor untuk RDB Palm Oil sebesar US$ 30 per ton diturunkan menjadi US$ 5 per ton, dan RDB olein kemasan di bawah 25 kg yang tadinya US$ 25 per ton menjadi US$ 2 dollar.
"Dengan begitu kita bisa bersaing dengan Malaysia, dan keuntungan bisa mengganti yang Rp 11.000 per kg tadi," terang Sahat.
Sahat mengatakan, hingga saat ini produsen belum terlalu mempermasalahkan HET minyak goreng kemasan ini karena harga minyak sawit yang masih baik atau masih di bawah Rp 9.200 per kg, di mana harga tersebut sudah termasuk PPN.
Seandainya harga minyak sawit lebih tinggi dari harga tersebut, Sahat mengatakan produsen sawit bisa mengalami kerugian yang besar.
Lebih lanjut Sahat pun menjelaskan sampai sekarang Kemdag meminta adanya perhitungan yang pasti dari produsen minyak sawit.
Kata Sahat, asosiasi-asosiasi minyak goreng akan menghadap ke Kementerian Perindustrian pada awal April ini untuk meminta usulan penurunan BK dan dana pungutan ekspor.
"Usulan diminta dari Kementerian Perindustrian karena mereka yang concern meningkatkan industri hilirnya," kata Sahat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News