Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Aliansi Ekonom Indonesia menilai berbagai program populis pada 2026 yang mendorong pemerintah menggelontorkan dana jumbo perlu dikaji ulang. Pun, alokasi anggarannya perlu dikurangi.
Anggota Aliansi Ekonom Indonesia Vivi Alatas menyebutkan, proses pengambilan kebijakan yang tidak berdasarkan bukti dan minim teknokrasi (penyertaan ahli) membuat banyak sumber daya tak dialokasikan pada tempatnya.
Vivi menyoroti peningkatan pos belanja lain-lain dalam APBN yang cenderung meningkat pesat sejak 2021, dari posisi Rp 79,7 triliun melonjak menjadi Rp 404,4 triliun pada 2022, turun menjadi Rp 225,0 triliun pada 2023 dan Rp 216,1 triliun pada 2024, tetapi kembali naik menjadi Rp 324,9 triliun pada 2025 dan Rp 488,8 triliun pada 2026.
“Hal tersebut mengimplikasikan buruknya perencanaan yang berujung menekan pembiayaan pada prioritas anggaran lainnya,” kata Vivi dalam konferensi pers, Selasa (9/9/2025).
Baca Juga: Tantangan Fiskal Indonesia, Utang Tinggi Ancam Program Prioritas Pemerintah
Ia mencontohkan, pengambilan kebijakan minim bukti dan teknokrasi terjadi pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang pada 2026 mendapat anggaran hingga Rp 335 triliun dan mencakup hingga 44% anggaran pendidikan.
Padahal, menurutnya saat ini masih banyak persoalan pendidikan yang memiliki urgensi lebih tinggi, terkhususnya terkait kualitas dan akses. “Sehingga kebijakan ini bukan hanya berpotensi menghabiskan anggaran tinggi tetapi menjadi ancaman serius bagi reformasi di sektor pendidikan,” tegas Vivi.
Selain itu, program lainnya termasuk hilirisasi, Koperasi Merah Putih, subsidi dan kompensasi energi, sekolah rakyat, dan program tiga juta rumah yang jika ditotal menelan anggaran Rp 1.414 triliun atau setara 37,4% dari total APBN 2026 juga menjadi perhatian.
Aliansi mendesak pemerintah untuk meninjau kebijakan terkait program-program populis tersebut dengan proses berbasis bukti dan teknokratis. Sebab jika tetap diluncurkan tanpa kajian yang matang, program-program tersebut berisiko menggerus ruang fiskal dan mengurangi fleksibilitas pemerintah dalam merespons guncangan eksternal.
Baca Juga: Kepala Bapenas Sebut APBN Terbatas,Pemerintah Fokus Belanja 2026 di Program Asta Cita
Program-program tersebut dinilai perlu diawali dengan proses uji coba, yang mana proses ini memerlukan output dan indikator dampak yang terukur dan transparan. Selanjutnya, skala program dapat ditingkatkan hanya jika terbukti berhasil.
Secara keseluruhan, Aliansi menilai setiap program populis pemerintah perlu diwajibkan melalui studi kelayakan oleh lembaga kredibel, independen, dan profesional. Pun, pembiayaan dan targetnya tak bisa untuk jangka pendek, melainkan jangka menengah untuk menjaga komposisi prudensial anggaran.
Maka dari itu, Aliansi yang terdiri dari 384 ekonom dan lebih dari 200 pengamat ekonomi ini mendesak pemerintah untuk mengurangi porsi belanja untuk program-program populis tahun 2026.
Baca Juga: BI dan Pemerintah Terapkan Skema Burden Sharing untuk Danai Program Prabowo
Selanjutnya: Bagaimana Tesla Bisa Menjadi Perusahaan Senilai US$8,5 Triliun?
Menarik Dibaca: SiteMinder: Tarif Kamar Hotel di Lombok dan Bali Meningkat Jelang MotoGP Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News