Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tiga tahun sejak pemerintah menyetujui rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) Proyek Liquid Natural Gas (LNG) Lapangan Abadi di Blok Masela, hingga saat ini proyek tersebut tak kunjung dimulai.
Jika proyek ini tidak berjalan hingga tahun 2024, Inpex Corporation sebagai kontraktor Blok Masela wajib untuk mengembalikan salah satu blok dengan cadangan gas bumi yang cukup besar itu kepada pemerintah.
Kewajiban itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi. Beleid yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri itu diundangkan pada tanggal 14 Oktober 2004.
Pasal 96 ayat 1 PP 35 tahun 2004 menyebutkan, jika dalam waktu lima tahun sejak persetujuan rencana pengembangan tidak melaksanakan kegiatan sesuai rencana pengembangan lapangan pertama, maka kontraktor wajib menyerahkan seluruh wilayah kerjanya kepada menteri.
Baca Juga: SKK Migas Akui Investasi CCUS di Blok Masela Butuh Dana Hingga Rp 19,38 Triliun
Ketentuan pada pasal 9 ayat 1 itu akan dikecualikan apabila dalam jangka waktu yang ditetapkan belum terdapat perikatan jual beli gas bumi. Jika itu yang terjadi, menteri dapat melakukan perpanjangan jangka waktu sebagaimana ayat 1 bagi kontraktor bersangkutan.
Namun, dalam persetujuan POD lapangan Abadi Masela pada Juli 2019 silam, kontraktor sudah menyertakan pembelian gasnya. Karena sesuai ketentuan, POD untuk gas bumi baru bisa disetujui dan ditandatangani jika sudah ada offtaker gasnya.
Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Fahmy Radhi MBA menilai, lambatnya pengembangan blok Masela disebabkan oleh rencananya mundurnya Shell sebagai salah satu pemegang partisipating Interest (PI) Blok Masela. Akibatnya, proyek yang seharusnya mulai masuk FID tersebut, hingga kini tidak mengalami kemajuan berarti.
“Sejak ditemukan tahun 2000, Blok Masela ini sudah lebih dari 20 tahun tidak mengalami banyak kemajuan. Sedangkan tahun 2024 sudah harus berjalan, jadi menurut saya sebaiknya blok itu diambil lagi oleh pemerintah. Dengan potensi gas bumi yang sangat besar, akan banyak investor yang masuk ke Masela, walaupun investasinya sangat besar,” ujar Fahmy dalam keterangan Rabu (24/8).
Menurut Fahmi, dengan potensi besar yang dimiliki blok Marsela, sebaiknya pemerintah menyerahkannya pada perusahaan milik pemerintah. Toh, kata dia, perusahaan BUMN di sektor energi dalam negeri sudah cukup mampu mengelola blok tersebut.
“Kita memiliki BUMN energi seperti Pertamina dan PGN. Sudah saatnya, kekayaan negara dikelola oleh negara. Untuk masalah pendanaan, saya kira perbankan kita mampu membiayai secara konsorsium, atau bisa juga mengeluarkan surat utang (bond). Jadi dari segi pembiayaan menurut saya tidak sulit,” katanya.
Baca Juga: Jepang Dikabarkan Minat Investasi di Blok Masela
Onshore Lebih Optimal
Berdasarkan persetujuan POD oleh Kementerian ESDM, pengembangan blok Abadi Masela dilakukan secara onshore (darat). Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan banyak aspek. Selain investasi yang lebih efisien, pengembangan secara onshore akan mendorong pembangunan kawasan industri baru di sekitar area lapangan Masela.
Seperti bisnis petrochemical yang berpotensi memberikan nilai tambah ekonomi lebih besar bagi kepentingan ekonomi nasional, termasuk lapangan kerja untuk masyarakat di daerah sekitar.
Mengacu pada informasi tahun 2020, biaya investasi di blok Masela secara onshore membutuhkan biaya investasi sekitar US$ 17,3 miliar – US$ 19,9 miliar. Dana itu mampu untuk membiayai produksi LNG sebanyak 9,5 Milion Ton Per Annum (MTPA) plus produksi gas pipa sebanyak 150 MMSCFD. Produksi gas pipa tersebut direncanakan untuk memasok kebutuhan pabrik Petrochemical di sekitar area lapangan Blok Masela.
Jika proyek Masela dikembangkan secara offshore (laut), pembiayaannya diperkirakan menghabiskan dana hingga US$ 28,8 miliar. Investasi itu hanya untuk memproduksi LNG dengan kapasitas sebanyak 9,5 MTPA.
Sebagai perbandingan, proyek gas alam offshore juga dikembangkan oleh Shell, pemilik PI di blok Masela selain Inpex, pada proyek mereka di Australia yaitu Shell Floating Prelude LNG. Seperti dikutip dari www.boilingcold.com.au/after-prelude-few-win-from-shells-floating-lng, di tahun 2020 proyek itu telah menghabiskan investasi atau capital expenditure (capex) senilai US$ 17 miliar.
Baca Juga: SKK Migas: Nasib Pencarian Mitra Pengganti Masela dan IDD Ditentukan Tahun Ini
Dengan investasi jumbo itu, produksi dari Shell prelude jauh di bawah Masela, yaitu hanya sebanyak 3,6 MTPA LNG, 1,3 MTPA Condensate dan 0,4 MTPA LPG. Sejak dimulai pembangunannya, proyek Shell Floating Prelude LNG belum memberikan hasil optimal. Bahkan, capexnya hingga tahun ini diperkirakan terus membengkak.
Sesuai perhitungan kementerian ESDM pada saat itu, pengembangan blok Masela secara offshore akan menghemat biaya sekitar US$ 8,9 miliar – US$ 11,5 miliar. Jika dirupiahkan dengan kurs saat itu nilai penghematannya sekitar Rp 134 triliun – 173 triliun. Angka tersebut sangat besar bagi negara, mengingat pengembangan blok Masela menggunakan sistem cost recovery, yang seluruhnya dibiayai dari dana APBN.
“Investasi pengembangan Blok Masela akan menentukan besaran harga jual LNG dan gas bumi yang akan diproduksi dari lapangan itu. Semakin rendah biaya investasinya, tentu harga jual gas akan semakin terjangkau. Itu sebabnya, menjadi sangat penting efisiensi dilakukan agar LNG bisa dijual dengan harga yang kompetitif,” imbuh Fahmy.
Kementerian ESDM memang memiliki pengalaman yang positif terkait efisiensi dalam pengembangan blok migas. Salah satunya dalam proyek pengembagan lapangan Jambaran Tiung Biru (JTB) di Bojonegoro, Jawa Timur. Proyek cost recovery yang semula menganggarkan capex senilai US$ 2,2 miliar itu bisa dipangkas menjadi US$ 1,550 miliar.
Selain menghemat biaya APBN, berkurangnya capex membuat harga gas dari lapangan JTB bisa dipangkas menjadi US$ 6,7 per MMSCFD. Sebelumnya, dengan asumsi investasi US$ 2,2 miliar, harga jual gas dari JTB diatas US$ 8,5 per MMSCFD.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News