Reporter: Adisti Dini Indreswari, Febrina Ratna Iskana, RR Putri Werdiningsih, Widiyanto Purnomo | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Efek pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) masih liar. Utamanya, bagi industri lokal yang mengandalkan bahan baku impor. Celakanya, hingga saat ini, sekitar 64% industri lokal bergantung pada bahan baku, bahan penolong dan barang modal impor.
Produsen farmasi dan otomotif semisal. Dengan ketergantungan bahan baku impor hingga 95%, mau tidak mau, mereka harus menaikkan harga. Strategi ini jadi satu-satunya pilihan agar keuntungan bisnis tak kobol-kobol. Hingga saat ini, produsen farmasi masih menghitung prosentase kenaikan harga. "Jika tekanan ke rupiah masih berlanjut, tak ada pilihan lain, harga obat harus naik," ujar Dirut PT Kimia Farma Tbk Rusdi Rosman.
Kimia Farma menghitung, jika rupiah melemah hingga Rp 13.000 di 2015, mereka akan menaikkan harga branded. Adapun obat generik tidak naik. Strategi lain yang akan dilakukan adalah menggenjot ekspor yang porsinya kini baru 5,8% dari pendapatan perusahaan. Sementara industri otomotif mengaku masih mengawasi pelemahan mata uang garuda.
Namun, "Ketergantungan bahan baku impor menambah biaya produksi kami," ujar Budi Nur Mukmin, General Marketing Strategy and Communication Division PT Nissan Motor Indonesia. Meski belum jadi pilihan Nissan, menaikkan harga bisa menjadi solusi menekan biaya. Strategi menaikkan harga sudah menjadi pilihan pengusaha elektronik.
Produsen elektronik dengan merek Polytron, PT Hartono Istana Teknologi bahkan sudah bersiap menaikkan harga 5% hingga 10% jika rupiah terus loyo. Produk elektronik yang akan naik harga antara lain: air conditioner (AC), kulkas, dan mesin cuci yang menggunakan komponen impor sekitar 5%. "Kenaikan harga di Januari karena stok bahan baku habis," ujar Public Relations & Marketing Event Manager PT Hartono Istana Teknologi, Santo Kadarusman Rabu (17/12).
Ini artinya, produk elektronik Polytron akan kembali naik harga dari tahun ini yang naik 2%-5%. Kekhawatiran juga menyeruak di pariwisata. Penguatan dollar AS berpotensi mengurangi pemesanan paket wisata rute pendek seperti di kawasan Asean. "Konsumen akan berpikir ulang membeli paket wisata," ujar A.B. Sadewa, Vice Brand and Communication Panorama Group.
Segendang sepenarian, industri penerbangan yang 70% beban operasionalnya menggunakan dollar, penguatan mata uang Paman Sam membuat kelimpungan. "Meski biaya avtur turun 25%, kalau dollar menguat sama saja," ujar Sunu Widyatmoko, Direktur Utama PT Indonesia Air Asia. Dengan penghasilan rupiah sementara pengeluaran dollar, pelemahan rupiah menjadi bandul berat bisnis mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News