kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pukulan telak ke petani tembakau: Kenaikan tarif cukai rokok hingga efek wabah corona


Jumat, 05 Juni 2020 / 20:24 WIB
Pukulan telak ke petani tembakau: Kenaikan tarif cukai rokok hingga efek wabah corona
ILUSTRASI. BAT Group kembangkan potensi vaksin corona dengan menggunakan tembakau.


Reporter: Barly Haliem | Editor: Sandy Baskoro

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tanaman tembakau sedang memasuki musim tanam yang hampir serentak di seluruh wilayah Indonesia. Meski di tengah masa pandemi Covid-19, para petani tembakau tetap berupaya menghidupi ladangnya dengan mematuhi pembatasan sosial yang berlaku di masing-masing daerah.

Upaya ini demi menyambung kehidupan di masa sulit seperti ini. Tembakau merupakan sumber penghasilan bagi sekitar 3 juta petani di seluruh Indonesia.

Baca Juga: Kenaikan Tarif Cukai Menggerus Pasar Rokok

Selain bergantung pada kondisi cuaca untuk menghasilkan panen tembakau yang berkualitas, keberlangsungan hidup para petani tembakau sangat bergantung pada eksistensi beragam industri tembakau sebagai penyerap hasil panen tembakau yang berbeda-beda kualitasnya.

Namun, eksistensi seluruh industri tembakau juga sangat bergantung pada pemerintah, yang menetapkan peraturan atas keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia.

Melihat ketergantungan yang cukup tinggi dengan ekonomi masyarakat akar rumput, pemerintah perlu menghasilkan kebijakan terkait IHT yang stabil agar dapat menjaga eksistensi tidak hanya industri rokok, melainkan juga seluruh entitas yang dinaunginya.

Sebagai contoh, kebijakan terkait tarif cukai. Sejak 2015, tarif cukai rokok terus meningkat setiap tahun. Berturut-turut, tarif cukai rokok naik sebesar 8,72% pada 2015, 11,19% (2016), 10,54% (2017), 10,04% (2018), 10,04% (2019), dan terakhir 23% (2020).

Baca Juga: Wow, cukai rokok jadi tulang punggung pendapatan negara Januari-April 2020

Kenaikan tarif cukai rokok yang cukup besar pada awal tahun ini dibarengi kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok sekitar 35% dan cukai hasil tembakau (CHT) sekitar 21,55%.

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menyoroti dampak kenaikan tarif cukai yang terus-menerus tersebut kian menghimpit para pelaku industri tembakau.

“Dengan kenaikan tarif cukai rokok yang cukup besar pada awal tahun 2020, penjualan rokok tahun ini diprediksi menurun 15% hingga 20%. Ditambah lagi, industri tembakau juga ikut terhantam oleh keberadaan pandemi Covid-19 karena berdampak pada penjualan rokok yang diprediksi semakin menurun hingga 30%-40%,” ungkap dia, dalam pernyataan resmi yang diterima Kontan.co.id, Jumat (5/6).

Sebelumnya, pandangan serupa diutarakan Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji terhadap kenaikan tarif cukai rokok.

Menurut dia, petani tembakau juga terpapar dampak kenaikan tarif cukai yang menghantam para pelaku industri. Memang yang terimpit adalah industri, namun petani adalah yang paling pertama terkena dampak paling besar.

Baca Juga: WHO: Perokok tembakau dan sisha berisiko tinggi terkena Covid-19

"Seperti saat kenaikan tarif cukai di awal tahun 2020, industri langsung menghentikan pembelian tembakau di sentra-sentra pertembakauan karena berupaya mengurangi bahan baku. Hal ini tentu berdampak langsung terhadap perekonomian para petani tembakau,” jelas Agus.

Akibat kebijakan yang kian menghimpit, jumlah industri tembakau di Indonesia terus tergerus yang dapat terlihat dalam beberapa tahun terakhir.

Pabrik rokok menyusut

Data Direktorat Jenderal Bea Cukai mencatat pada tahun 2017, jumlah pabrik rokok di Indonesia hanya tersisa 487 pabrikan dari 1.000 pabrik rokok yang eksis pada tahun 2012.

Pabrikan tersebut termasuk penghasil tiga jenis produksi hasil tembakau yang dilegalkan dalam Undang-Undang, yaitu Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Mesin (SKM).

Tren penyusutan jumlah pabrikan rokok di Indonesia merupakan imbas dari kebijakan pemerintah yang cenderung tidak mendukung keberlangsungan industri ini. Perubahan kebijakan dari tahun ke tahun juga merupakan hal lain yang menyebabkan pelaku industri tembakau sulit melakukan proyeksi masa depan bisnisnya.

Baca Juga: Rokok murah mengancam perlindungan anak

Contoh lainnya terkait kebijakan simplifikasi tarif cukai dan penggabungan tarif cukai SPM dan SKM yang terus mendapatkan pertentangan oleh para pelaku industri.
Jika diterapkan, kebijakan tersebut diyakini akan mematikan industri golongan kecil dan menengah. Padahal, para pabrikan rokok kecil dan menengah tersebut turut andil dalam menghidupkan perekonomian masyarakat serta pertanian tembakau di berbagai daerah di Indonesia.

Kategori kecil, menengah dan besar pada pabrikan rokok di Indonesia tidak semata-mata menggambarkan kapasitas produksi yang dimiliki, namun juga menggambarkan jenis dan kualitas tembakau yang digunakan. Tembakau grade 1 yang disebut sebagai kualitas terbaik biasanya digunakan oleh perusahaan besar, sedangkan tembakau grade 2 dan lainnya biasanya digunakan pabrikan yang lebih kecil.

Masing-masing jenis dan kualitas tembakau ini biasanya juga ditanam di wilayah berbeda. Oleh karena itu, adanya keragaman kategori industri menopang kelangsungan pertanian tembakau Indonesia berikut dengan kehidupan para petaninya.

Kondisi pandemi corona juga memberikan tantangan lebih kepada IHT dan seluruh mata rantai di dalamnya. Karenanya, Henry turut mengapresiasi kebijakan Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang telah memberikan relaksasi penundaan pembayaran pita cukai dari 60 hari menjadi 90 hari selama pandemi Covid-19 yang sangat membantu para industri rokok dalam mengatur cash flow.

Baca Juga: Kemenkeu diminta hapus aturan rokok murah

Henry juga mengapresiasi Kementerian Perindustrian yang telah memberikan bimbingan dan panduan sehingga para industri rokok tetap dapat berproduksi dengan mematuhi protokol kesehatan Covid-19.

Untuk ke depannya, Henry merekomendasikan pemerintah tidak perlu mengubah kebijakan IHT yang sudah ada saat ini untuk melindungi beragam industri tembakau yang sudah terancam gulung tikar, karena masing-masing kategori tersebut sudah memiliki pasarnya tersendiri.

Selain itu, kondisi yang kian mengimpit pelaku usaha menyebabkan pabrikan rokok tidak dapat menunjang penghidupan masyarakat sekitarnya yang selama ini dilakukan berdasarkan asas gotong royong. Hal ini juga patut dipikirkan bersama.

Wacana perubahan kebijakan seperti peningkatan tarif cukai rokok yang terus menerus ataupun penyederhanaan struktur tarif cukai dan penggabungan volume SKM dan SPM diminta agar tidak dilanjutkan.

Baca Juga: Pemanfaatan stimulus perpanjangan kredit cukai rokok sudah capai Rp 18,1 triliun

“Kami berharap struktur tarif cukai yang mencakup 10 layer seperti saat ini tetap dipertahankan, serta tarif cukai untuk tahun 2021 tetap pada status quo dengan menggunakan aturan yang ada saat ini dan mempertimbangkan dampak pandemi Covid-19 serta tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahun ini,” tutur Henry.

Sependapat dengan itu, Agus juga berharap pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang tepat dan stabil, khususnya setelah pandemi Covid-19 yang dampaknya juga turut dirasakan industri hasil tembakau.

Pemerintah diharapkan dapat mengakomodasi seluruh pelaku industri dan melindungi pihak lain yang terkena dampaknya, termasuk petani tembakau.

“Petani tembakau merupakan pihak yang paling sengsara jika industri tembakau terus dihantam. Dengan demikian, pemerintah perlu lebih melindungi para petani tembakau dengan memperhatikan kemakmuran para petani tembakau, memastikan penggunaan tembakau hasil panen para petani lokal secara efektif, serta tidak melanjutkan agenda-agenda yang terus menekan para pelaku IHT,” kata Agus.

Baca Juga: Industri rokok dinilai masih ditekan kampanye negatif

Pelaku IHT mengharapkan pemerintah bisa mengakomodasi dan meringankan tekanan ke industri tembakau tanah air. Sebagian besar industri kecil dan menengah akan terus tergerus dan terpaksa menutup sumber pemasukan bagi berbagai entitas yang terlibat di dalam mata rantai proses produksi rokok.

Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat menerapkan kebijakan IHT yang stabil dan kondusif dengan menjaga aturan yang sudah ada saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×