Reporter: Barly Haliem | Editor: Sandy Baskoro
Sebelumnya, pandangan serupa diutarakan Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji terhadap kenaikan tarif cukai rokok.
Menurut dia, petani tembakau juga terpapar dampak kenaikan tarif cukai yang menghantam para pelaku industri. Memang yang terimpit adalah industri, namun petani adalah yang paling pertama terkena dampak paling besar.
Baca Juga: WHO: Perokok tembakau dan sisha berisiko tinggi terkena Covid-19
"Seperti saat kenaikan tarif cukai di awal tahun 2020, industri langsung menghentikan pembelian tembakau di sentra-sentra pertembakauan karena berupaya mengurangi bahan baku. Hal ini tentu berdampak langsung terhadap perekonomian para petani tembakau,” jelas Agus.
Akibat kebijakan yang kian menghimpit, jumlah industri tembakau di Indonesia terus tergerus yang dapat terlihat dalam beberapa tahun terakhir.
Pabrik rokok menyusut
Data Direktorat Jenderal Bea Cukai mencatat pada tahun 2017, jumlah pabrik rokok di Indonesia hanya tersisa 487 pabrikan dari 1.000 pabrik rokok yang eksis pada tahun 2012.
Pabrikan tersebut termasuk penghasil tiga jenis produksi hasil tembakau yang dilegalkan dalam Undang-Undang, yaitu Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Mesin (SKM).
Tren penyusutan jumlah pabrikan rokok di Indonesia merupakan imbas dari kebijakan pemerintah yang cenderung tidak mendukung keberlangsungan industri ini. Perubahan kebijakan dari tahun ke tahun juga merupakan hal lain yang menyebabkan pelaku industri tembakau sulit melakukan proyeksi masa depan bisnisnya.
Baca Juga: Rokok murah mengancam perlindungan anak
Contoh lainnya terkait kebijakan simplifikasi tarif cukai dan penggabungan tarif cukai SPM dan SKM yang terus mendapatkan pertentangan oleh para pelaku industri.
Jika diterapkan, kebijakan tersebut diyakini akan mematikan industri golongan kecil dan menengah. Padahal, para pabrikan rokok kecil dan menengah tersebut turut andil dalam menghidupkan perekonomian masyarakat serta pertanian tembakau di berbagai daerah di Indonesia.
Kategori kecil, menengah dan besar pada pabrikan rokok di Indonesia tidak semata-mata menggambarkan kapasitas produksi yang dimiliki, namun juga menggambarkan jenis dan kualitas tembakau yang digunakan. Tembakau grade 1 yang disebut sebagai kualitas terbaik biasanya digunakan oleh perusahaan besar, sedangkan tembakau grade 2 dan lainnya biasanya digunakan pabrikan yang lebih kecil.
Masing-masing jenis dan kualitas tembakau ini biasanya juga ditanam di wilayah berbeda. Oleh karena itu, adanya keragaman kategori industri menopang kelangsungan pertanian tembakau Indonesia berikut dengan kehidupan para petaninya.
Kondisi pandemi corona juga memberikan tantangan lebih kepada IHT dan seluruh mata rantai di dalamnya. Karenanya, Henry turut mengapresiasi kebijakan Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang telah memberikan relaksasi penundaan pembayaran pita cukai dari 60 hari menjadi 90 hari selama pandemi Covid-19 yang sangat membantu para industri rokok dalam mengatur cash flow.
Baca Juga: Kemenkeu diminta hapus aturan rokok murah
Henry juga mengapresiasi Kementerian Perindustrian yang telah memberikan bimbingan dan panduan sehingga para industri rokok tetap dapat berproduksi dengan mematuhi protokol kesehatan Covid-19.
Untuk ke depannya, Henry merekomendasikan pemerintah tidak perlu mengubah kebijakan IHT yang sudah ada saat ini untuk melindungi beragam industri tembakau yang sudah terancam gulung tikar, karena masing-masing kategori tersebut sudah memiliki pasarnya tersendiri.