Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Kekhawatiran pengusaha kelapa sawit atas pemungutan pajak ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO Fund) saat mulai bergulir tahun lalu sepertinya mulai terbukti. Sejumlah perusahaan kelapa sawit non eksportir harus rela harga jual produk CPO mereka terpangkas karena perusahaan eksportir membebankan pungutan CPO Fund pada mereka.
Alhasil, kinerja sebagian perusahaan produsen CPO tertekan. "Sejak CPO Fund diterapkan tahun lalu, harga jual CPO perusahaan ke pembeli terkoreksi," ujar Devin Antonio Ridwan, Sekretaris Perusahaan PT Provident Agro Tbk pada KONTAN, akhir pekan lalu. Namun, dia enggan membeberkan seberapa besar pengaruhnya terhadap pendapatan perusahaan.
Berdasarkan riset KONTAN, harga jual perusahaan berkode emiten PALM ini telah turun sejak tahun 2015 lalu. Tercatat, harga rata-rata CPO perusahaan itu menurun sampai 17,6% dibandingkan harga tahun 2014.
Namun, tampaknya tahun lalu, Provident Agro berhasil menahan penurunan pendapatan hanya sebesar 1,04% menjadi Rp 1,05 triliun dibanding pendapatan tahun 2014 yang sebesar Rp 1,06 triliun. Pada kuartal I-2016, pendapatan Provident Agro naik menjadi Rp 255,27 miliar dari Rp 239,33 miliar (yoy). Kenaikan ini lantaran ada kenaikan produksi CPO sebesar 39,6% menjadi 32.804 ton.
Nasib serupa juga dialami PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk. Andi W. Setianto, Direktur Investor Relations Bakrie Sumatera mengatakan, program CPO Fund telah menggerus harga CPO domestik dan juga harga jual Tandan Buah Segar (TBS) petani.
Bakrie Sumatera menjual CPO ke eksportir lain, seperti PT Multimas Nabati Asahan, PT Wilmar Nabati Indonesia, dan PT Musim Mas. Eksportir tersebut membebankan CPO Fund dan bea keluar ke perusahaan sehingga berkontribusi pada anjloknya nilai penjualan selama semester I-2016 yang sebesar 28% dibandingkan tahun lalu.
Belum lirik sektor hilir
Setali tiga uang, PT Sampoerna Agro Tbk juga tak bisa membendung efek CPO Fund ini terhadap harga CPO mereka. Micheal Kusuma, Head of Investor Relations Sampoerna Agro bilang, tahun ini harga jual CPO perusahaan terpangkas sekitar 11% dari tahun lalu yang sekitar Rp 6.900 per kilogram (kg). Namun, Michael berdalih, penurunan harga ini karena mengikuti fluktuasi harga CPO global.
Meski begitu, Michael tak menampik bahwa saat ini terjadi perbedaan cukup lebar antara harga jual CPO nasional dengan harga internasional. "Perbedaannya tak terlalu terpantau pasar, tapi jumlahnya cukup besar," katanya.
Menjual CPO dalam bentuk mentah memang membuat pungutan CPO Fund yang dibebankan semakin tinggi. Maklum, pungutan CPO mentah mencapai US$ 50 per ton, sedangkan produk olahan CPO hanya US$ 20 per ton.
Namun, Michael bilang, Sampoerna Agro belum tertarik menggarap sektor pengolahan CPO. Perusahaan itu lebih memilih mendiversifikasi bisnis dengan memperluas tanaman sagu dan karet.
Selain itu, perusahaan ini juga tengah mengembangkan Pembangkit Listrik Biomas yang sudah ada sejak tahun 2015 di Kabupaten Ogan Komerling Ilir, Palembang, Sumatra Selatan. Pembangkit itu menggunakan limbah pabrik pengolahan kelapa sawit.
Meski beban serupa juga dirasakan oleh PT Austindo Nusantara Jaya Tbk, Lucas Kurniawan, Direktur Keuangan Austindo Nusantara menyatakan belum tertarik masuk dalam bisnis pengolahan kelapa sawit. Alih-alih ekspansi di bisnis kelapa sawit, perusahaan itu justru lebih fokus menggarap proyek pabrik sagu di Papua yang kini mulai berproduksi.
Saat ini, Austindo memiliki kebun kelapa sawit seluas 90.000 hektare (ha) di Sumatra dan Kalimantan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News