Reporter: Kenia Intan | Editor: Tendi Mahadi
Sesungguhnya letak geografis Indonesia sangat cocok untuk memproduksi kakao. Sangat disayangkan jika Indonesia masih mengimpor bahan baku, apalagi impor biji kakao musti dikenai tarif biaya masuk sebesar 5%.
Padahal, impor produk kakao olahan justru tidak dikenai tarif biaya masuk. Adapun Indonesia saat ini impor produk olahan kakao didominasi dari Singapura dan Malaysia. "Akhirnya, industri nasional itu tidak berdaya saing," jelas Peter ketika ditemui di Menara kadin, Rabu (4/9).
Baca Juga: Siapkan IPO Anak Usaha, Grup Wilmar Makin Agresif Gelar Ekspansi di China
Ia menambahkan, jika kondisi seperti ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin berbagai industri pengolahan kakao beralih ke negara lain, ke lokasi yang lebih mendekati bahan baku.
Jika digarap dengan serius oleh pemerintah, industri kakao di Indonesia memiliki potensi yang besar ke depannya. Peter bilang, konsumsi di Indonesia masih rendah, rata-rata baru 400 gram perkapita per orang. Jumlah konsumsi yang sama juga dimiliki oleh Tiongkok dan India.
Jika konsumsi di tiga negara tersebut naik satu kilogram saja, maka setidaknya diperlukan kurang lebih dua juta ton biji kakao. Kondisi ini akan menguntungkan bagi Indonesia.
Sebab Indonesia memiliki lahan yang luas serta jumlah tenaga kerja yang besar. Sehingga berpotensi untuk memenuhi kebutuhan kakao tersebut.
Baca Juga: Ancaman arus impor ayam Brasil mengintai, begini tanggapan Malindo Feedmill
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News