Reporter: Kenia Intan | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produksi biji kakao Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun mempengaruhi industri kakao di tanah air. Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Pieter Jasman bilang sejauh ini dari 20 perusahaan pengolahan kakao, 9 di antaranya berhenti sementara karena tidak memiliki bahan baku untuk diolah.
Berdasarkan data dari The International Cocoa Organization (ICCO) produksi kakao di Indonesia di tahun 2016/2017 sebesar 270.000 ton. Sementara pada tahun 2017/2018 diperkirakan produksi kakao turun menjadi 240.000 ton.
Baca Juga: Bank tingkatkan kehati-hatian dalam menyalurkan kredit ke sektor perkebunan
Kondisi yang sama dialami pada tahun 2018/2019, produksi kakao diproyeksikan semakin menurun dengan jumlah 220.000 ton.
Adapun menurut AIKI ada beberapa sebab penurunan produksi kakao di Indonesia, diantaranya kebun kakao yang berumur tua atau lebih dari 30 tahun, serangan hama PBK dan VSD, program Gernas Kakao yang baru mencapai 26% dari total areal kakao nasional.
Selain itu banyak terjadi pula alih fungsi lahan kakao menjadi kebun sawit, serta fokus kementerian pertanian dalam dua tahun terakhir terjadi pada padi, jagung, dan kedelai.
Penurunan pasokan biji kakao mengakibatkan industri pengolahan kakao musti impor untuk memenuhi kebutuhannya. AIKI mencatat, di tahun 2018, kebutuhan pasokan biji kakao untuk industri sebesar 800.000 ton.
Baca Juga: Mahkota Group bukukan penurunan pendapatan 2% di semester-I tahun ini
Adapun biji kakao dalam negeri hanya mampu memenuhi sebesar 210.887 ton saja. Sementara, sebesar 239.377 ton biji kakao masih diimpor. Secara total, biji kakao yang terpakai di Industri ini sebesar 450.000 ton, dengan demikian utilisasi industri pengolahan kakao baru mencapai 57%.
Sesungguhnya letak geografis Indonesia sangat cocok untuk memproduksi kakao. Sangat disayangkan jika Indonesia masih mengimpor bahan baku, apalagi impor biji kakao musti dikenai tarif biaya masuk sebesar 5%.
Padahal, impor produk kakao olahan justru tidak dikenai tarif biaya masuk. Adapun Indonesia saat ini impor produk olahan kakao didominasi dari Singapura dan Malaysia. "Akhirnya, industri nasional itu tidak berdaya saing," jelas Peter ketika ditemui di Menara kadin, Rabu (4/9).
Baca Juga: Siapkan IPO Anak Usaha, Grup Wilmar Makin Agresif Gelar Ekspansi di China
Ia menambahkan, jika kondisi seperti ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin berbagai industri pengolahan kakao beralih ke negara lain, ke lokasi yang lebih mendekati bahan baku.
Jika digarap dengan serius oleh pemerintah, industri kakao di Indonesia memiliki potensi yang besar ke depannya. Peter bilang, konsumsi di Indonesia masih rendah, rata-rata baru 400 gram perkapita per orang. Jumlah konsumsi yang sama juga dimiliki oleh Tiongkok dan India.
Jika konsumsi di tiga negara tersebut naik satu kilogram saja, maka setidaknya diperlukan kurang lebih dua juta ton biji kakao. Kondisi ini akan menguntungkan bagi Indonesia.
Sebab Indonesia memiliki lahan yang luas serta jumlah tenaga kerja yang besar. Sehingga berpotensi untuk memenuhi kebutuhan kakao tersebut.
Baca Juga: Ancaman arus impor ayam Brasil mengintai, begini tanggapan Malindo Feedmill
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News