kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.405.000   -9.000   -0,64%
  • USD/IDR 15.370
  • IDX 7.722   40,80   0,53%
  • KOMPAS100 1.176   5,28   0,45%
  • LQ45 950   6,41   0,68%
  • ISSI 225   0,01   0,00%
  • IDX30 481   2,75   0,57%
  • IDXHIDIV20 584   2,72   0,47%
  • IDX80 133   0,62   0,47%
  • IDXV30 138   -1,18   -0,84%
  • IDXQ30 161   0,48   0,30%

PUSHEP: Ada 3 Efek Negatif dari Terbitnya Perpres No 76 Tahun 2024


Jumat, 26 Juli 2024 / 23:35 WIB
PUSHEP: Ada 3 Efek Negatif dari Terbitnya Perpres No 76 Tahun 2024
ILUSTRASI. PUSHEP menilai Perpres Nomor 76 Tahun 2024 akan membawa tiga efek negatif bagi ekosistem pertambangan dan politik.


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) mengungkap Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 76 Tahun 2024 tentang Pengalokasian Lahan Tambang bagi Investasi akan membawa setidaknya tiga efek negatif bagi ekosistem pertambangan dan politik di Indonesia.

Analis hukum dari PUSHEP, Bayu Yusya mengatakan efek negatif pertama berasal dari sisi pengalihan kewenangan. 

"Pengalihan kewenangan pemberian IUPK tambang dari Kementerian ESDM ke BKPM/Investasi dapat menimbulkan beberapa kekhawatiran terkait sentralisasi kekuasaan," ungkapnya saat dihubungi Kontan, Jumat (26/07). 

Bahlil Lahadalia sebagai Menteri BKPM/Investasi ungkapnya akan memiliki wewenang yang lebih besar dalam pemberian izin tambang, yang bisa menimbulkan potensi konflik kepentingan atau penyalahgunaan wewenang.

Baca Juga: Pengamat: Perpres 76/2024 Dianggap Cederai Undang-Undang

"Dan tentu saja kewenangan ini melanggar UU Minerba, dimana kewenangan pemberian IUPK diberikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dalam hal ini adalah Kementerian ESDM," katanya. 

"Bukan diberikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan di bidang penanaman modal," tambahnya.

Efek negatif kedua, adalah potensi korupsi dan nepotisme. 

"Kekuasaan yang besar pada satu individu atau instansi dapat meningkatkan risiko korupsi dan nepotisme. Pemberian izin tambang yang tidak transparan dan tidak akuntabel bisa merugikan negara dan masyarakat," ungkapnya.

Dan efek samping ketiga, adalah munculnya ketidakpastian hukum baik secara aplikatif maupun hirarki peraturan perundang-undangan. 

"Karena tidak ada keselarasan pengaturan dengan UU Minerba, khususnya terkait kewenangan BKPM dalam memberikan IUPK dan pemberian WIUPK kepada ormas," kata Bayu. 

Ia juga memberikan beberapa beberapa catatan untuk ormas keagamaan dalam menjalankan kegiatan usaha pertambangan ini. 

"Pertama Ormas keagamaan perlu memastikan bahwa mereka memiliki tenaga ahli dan profesional yang kompeten dalam mengelola tambang. Keterlibatan profesional yang berpengalaman sangat penting untuk memastikan operasi tambang yang efisien dan aman," jelas Bayu.

Catatan kedua, adalah pengelolaan tambang harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Dimana, ormas keagamaan harus memiliki mekanisme pengawasan yang ketat untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan wewenang. 

"Ketiga, Ormas keagamaan harus mematuhi semua regulasi dan peraturan yang berlaku dalam industri pertambangan, termasuk standar lingkungan dan keselamatan kerja," tambahnya.

Keempat, pengelolaan tambang oleh ormas juga harus memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat sekitar, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan pelayanan kesehatan. 

"Keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan juga penting untuk memastikan bahwa kebutuhan dan kepentingan mereka terpenuhi," tutupnya. 

Baca Juga: Izin Tambang Ormas di Tangan Bahlil, Tapi Pengawasan Tetap di Kementerian ESDM

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mudah Menagih Hutang Penyusunan Perjanjian & Pengikatan Jaminan Kredit serta Implikasi Positifnya terhadap Penanganan Kredit / Piutang Macet

[X]
×