Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memulai pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Minyak dan Gas (Migas) dengan mengkaji pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) dan pendirian Petroleum Fund.
Pada Senin (14/7), Komisi XII DPR RI telah menerima dan membahas naskah akademik serta draft RUU Migas dan sidang pembahasan dilakukan secara tertutup.
Wakil Ketua Komisi XII DPR Sugeng Suparwoto mengatakan, langkah ini menjadi respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menekankan perlunya transformasi dalam pengelolaan sektor hulu migas. Khususnya terkait peran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas).
Menurut Sugeng, selama ini upaya peningkatan lifting minyak dan gas, yang mencakup produksi nasional, sangat bergantung pada dua pilar utama, yaitu eksplorasi dan inovasi teknologi. Teknologi tersebut meliputi teknik pemboran canggih serta penerapan Enhanced Oil Recovery (EOR) untuk memaksimalkan produksi dari sumur-sumur tua.
Baca Juga: UU Migas Sudah Tak Relevan, Pemerintah dan DPR Diminta Segera Tuntaskan Revisi
Namun, tantangan besar muncul karena risiko operasional yang tinggi, terutama di wilayah dengan kondisi geologi kompleks.
"Karena kalau melakukan eksplorasi mengandalkan operator-operator hari ini karena kebetulan secara geologi kita juga semakin ke laut dalam artinya eksplorasi semakin mahal juga dan memang kita dominasi ditemukan gas-gas lagi tidak lagi minyak, maka harus ada sebagaimana beberapa negara adalah punya semacam Petroleum fund," kata Sugeng ditemui di Kompleks DPR RI, Senin malam (14/7).
Menurut Sugeng, Petroleum Fund sendiri dianalogikan dengan Badan Layanan Umum (BLU) di sektor kelapa sawit, yang bertujuan utama untuk meremajakan perkebunan tua melalui program replanting.
Dana ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas, sebagaimana telah terbukti di kelapa sawit. Di sektor Migas, Petroleum Fund akan menjadi sumber pendanaan murah untuk mendukung eksplorasi dan pengembangan, terutama mengingat mayoritas sumur di Indonesia kini termasuk kategori sumur tua.
Sebagai contoh, Blok Cepu dan Banyu Urip masih menjadi tulang punggung produksi dengan output sekitar 140.000-150.000 barel per hari. Meski ada tambahan 30.000 barel dari proyek infill drilling Banyu Urip, produksi ini terus tergerus oleh natural decline sebesar 10% per tahun.
Sugeng menambahkan, tantangan semakin kompleks seiring pergeseran eksplorasi ke wilayah laut dalam, yang membutuhkan investasi besar. Ia juga mengacu pada praktik negara seperti Kanada yang telah menerapkan Petroleum Fund untuk mendanai eksplorasi dan pengembangan sektor energi.
Adapun, pembentukan BUK akan menjadi pengganti SKK Migas, yang saat ini beroperasi berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) yaitu Perpres Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Baca Juga: Revisi UU Migas Masuki Tahap Pembahasan DIM dari Pemerintah
Dengan landasan hukum yang lebih kuat melalui UU, BUK diharapkan memberikan kepastian hukum dan usaha, terutama dalam hal kontrak jangka panjang dengan investor.
"Kalau ada BUK ya SKK Migas digantikan, kan SKK Migas hanya Perpres, kalau BUK kan undang-undang," tegas Sugeng.
Namun, masih terdapat perdebatan internal mengenai struktur BUK. Sebagian pihak mengusulkan penggabungan dengan PT Pertamina (Persero), sementara lainnya mendukung penyempurnaan SKK Migas sebagai dasar pembentukannya.
Selain itu, revisi UU Migas ini juga akan disinergikan dengan penyelesaian UU Energi Baru Terbarukan dan UU Kelistrikan. Sugeng menargetkan penyelesaian UU Energi Baru Terbarukan dalam enam bulan ke depan, diikuti UU Kelistrikan enam bulan setelahnya, dengan target akhir penyelesaian revisi UU Migas dalam satu setengah tahun.
Selanjutnya: Pembiayaan Alat Berat Multifinance Meningkat Menjadi Rp 47,61 Triliun pada Mei 2025
Menarik Dibaca: Peringatan Dini Cuaca Besok 16-17 Juli, Status Waspada Hujan Lebat di Provinsi Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News