Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Dupla Kartini
Toh, upaya itu juga menemui hambatan. "Ini titik krusial. Kami tidak bisa telusuri bahan baku dari mana. Hanya timah batangan yang sumbernya dari ICDX yang bisa dipakai untuk timah industri," ungkapnya.
Setop izin baru
Lebih lanjut Mochtar menjelaskan, Pemerintah bakal mempertimbangkan untuk menyetop penerbitan izin pembangunan smelter baru seiring dengan produksi smelter dalam tiga tahun terakhir yang hanya sekitar 21% dari total kapasitas terpasang.
Dalam tiga tahun terakhir, dari 47 smelter dengan kapasitas terpasang 391.592 ton per tahun, hanya 21% yang terpakai. Dari rendahnya tingkat pemanfaatan smelter itu, kata Mochtar, menjadi pertimbangan pemerintah menerbitkan izin smelter baru, tetapi hal ini akan dibicarakan dengan Kemperin selaku pemegang otoritas penerbitan izin smelter timah.
"Kalau dari kapasitas terpasang hanya terpakai 21%, apakah nantinya tidak perlu membangun smelter yang baru? Itu nanti dievaluasi lagi," tandasnya.
Ketua Umum Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), Jabin Sufianto menyatakan, rendahnya produksi dibandingkan dengan kapasitas terpasang saat ini cukup wajar. Pasalnya, ekspor timah dari Indonesia memang telah menyusut dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Selain itu, kemampuan pasokan bahan baku dari tambang timah pun sudah tidak sebanyak dulu, sehingga tingkat produksi pun berkurang.
"Secara historis Indonesia memang pernah ekspor sampai di atas 120.000 ton per tahun. Sekarang sekitar 60.000 ton saja, jadi memang pasti sangat berlebih kapasitasnya," ungkapnya.
Kendati kapasitas terpasang jauh lebih tinggi dari produksi, Jabin menilai pemerintah harus memiliki alasan jika ingin menyetop pembangunan smelter baru. "Apakah hanya karena kapasitas terpasang melebihi produksi, merusak lingkungan, atau karena apa?" katanya.
Jabin juga menyatakan tidak tahu menahu mengenai data yang menyebutkan soal penyelundupan dilakukan oleh pemilik IUP OP yang belum berstatus CnC.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News