Reporter: Leni Wandira | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah menerbitkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang mengatur kemasan polos (plain packaging) dan pelarangan iklan serta pembatasan penjualan rokok menuai sorotan tajam dari pelaku industri.
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menilai, rancangan aturan tersebut tidak proporsional dan mengabaikan kontribusi besar industri hasil tembakau (IHT) terhadap ekonomi nasional.
Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, menyampaikan bahwa kebijakan plain packaging merupakan bentuk adopsi dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang belum diratifikasi oleh Indonesia.
"Sejauh ini Presiden belum meratifikasi FCTC, sehingga Kementerian Kesehatan seyogyanya tidak menjadikannya sebagai acuan dalam penyusunan regulasi," tegas Henry saat dihubungi KONTAN, Rabu (11/6).
Baca Juga: Kenaikan Cukai Rokok Dikhawatirkan Tekan Daya Beli dan Gerus Penerimaan Negara
GAPPRI juga menyebutkan bahwa penyusunan RPMK tersebut dilakukan tanpa melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk kementerian teknis, pelaku industri, pekerja, dan petani. Hal ini, menurut GAPPRI, telah menyalahi prinsip transparansi dan inklusivitas dalam pembentukan kebijakan publik.
Salah satu sorotan utama GAPPRI adalah potensi dampak negatif plain packaging terhadap industri rokok kretek yang menguasai sekitar 75% pangsa pasar di dalam negeri.
"Kemasan polos akan menyamarkan identitas produk, memicu peredaran rokok murah ilegal, dan menurunkan daya saing merek legal di pasaran,” ujar Henry.
Menurut GAPPRI, penghapusan elemen branding tidak hanya akan membingungkan konsumen, tetapi juga membuka celah bagi produk tanpa izin edar. Situasi ini berpotensi memperparah kontraksi industri yang saat ini tengah menghadapi tekanan ekonomi akibat turunnya produksi rokok.
Sebagai catatan, produksi rokok nasional tercatat turun dari 356,5 miliar batang pada 2019 menjadi 317,43 miliar batang pada 2024.
"Ini bukti bahwa pengendalian tembakau selama ini sudah berjalan efektif. Jadi, di mana urgensi pengetatan tambahan seperti ini?” ujarnya.
RPMK juga mengatur larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah. Menurut GAPPRI, kebijakan ini bakal memukul pedagang kecil yang sangat bergantung pada penjualan produk tembakau.
Baca Juga: Industri Pariwisata Tertekan, PHRI Minta Revisi Aturan Rokok
“Banyak warung dan toko berada di area yang dilarang. Jika tidak boleh menjual rokok, maka mereka kehilangan sumber penghasilan,” kata Henry. Kebijakan ini dinilai tidak mempertimbangkan ketergantungan distribusi tradisional di sektor ini, yang membuat pelaku usaha kecil rentan terhadap pembatasan.
GAPPRI juga menegaskan pentingnya regulasi yang adil dan tidak diskriminatif. Menurut mereka, penyusunan RPMK kali ini justru menyalahi prinsip keterlibatan pemangku kepentingan.
“Tidak ada forum dialog terbuka, tidak ada konsultasi yang bermakna. Padahal, dampaknya bisa sangat besar,” kata Henry.
GAPPRI memperkirakan, bila RPMK diberlakukan tanpa revisi, maka potensi gangguan terhadap 6 juta tenaga kerja di sepanjang rantai pasok IHT bisa terjadi. Termasuk, terganggunya penerimaan negara dari cukai yang pada 2023 saja mencapai lebih dari Rp 200 triliun.
GAPPRI mendesak pemerintah untuk mengevaluasi ulang RPMK dengan mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial secara menyeluruh.
"Kami ingin ada solusi yang seimbang, bukan kebijakan sepihak. Regulasi harus menjamin perlindungan konsumen, tapi juga menjaga keberlangsungan industri yang legal dan berkontribusi besar pada negara,” tutup Henry.
Selanjutnya: Kurs Rupiah Menguat Tipis ke Rp 16.260 Per Dolar AS, Rabu (11/6)
Menarik Dibaca: Promo Alfamart Serba Gratis sampai 15 Juni 2025, Beli 2 Gratis 1 Cat Food-Molto Trika
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News