kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45907,30   3,97   0.44%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

REI: Lebih enak jadi pengusaha otomotif


Rabu, 05 Maret 2014 / 15:42 WIB
REI: Lebih enak jadi pengusaha otomotif
ILUSTRASI. Reksadana campuran. KONTAN/Muradi/07/03/2017


Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Sekretaris Jenderal DPP REI (Real Estate Indonesia) Hari Raharta Sudrajat mengeluhkan berbagai kebijakan pemerintah yang dinilainya kontraproduktif dengan upaya pengentasan angka kekurangan (backlog) rumah di Indonesia. Hal tersebut dia sampaikan pada acara bincang-bincang DPP REI di Jakarta, Rabu (5/3).

"Sebetulnya, backlog kita kan tinggi atau banyak. Jadi, orang yang ingin beli rumah itu kan harusnya banyak," ujar Heri.

Menurut Heri, jumlah yang tinggi tersebut tidak didukung oleh pemerintah. Menurut dia, pemerintah seolah lebih berpihak pada industri otomotif ketimbang properti. Subsidi yang tersedia bagi masyarakat pencari rumah pun hanya terbatas pada bantuan uang muka.

"Ini kan subsidi uang muka saja. Kalau subsidi bensin itu kan hangus. Kalau subsidi itu kan bergulir. Menurut saya, pengusaha, kalau karena kesulitan ini usahanya tidak berjalan, kita juga pasti jualan di luar FLPP. Toh, yang mau beli juga ada," ujar Hari.

Hari mengaku, perannya sebagai induk organisasi pun tak serta-merta bisa mengharuskan anggota asosiasi membangun rumah bersubsidi atau rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Perubahan regulasi yang terjadi setiap tahun, proses berlarut-larut, naiknya berbagai harga kebutuhan, serta peningkatan harga bahan bangunan pun menyulitkan pengembang memasok stok rumah bersubsidi.

"Harga BBM naik, harga bangunan juga naik, apalagi tanah naik. Apalagi, kita berusaha di bidang perumahan itu jadi susah. Padahal, bayangkan, yang namanya asosiasi mobil tiap tahun 1.400.000 unit terjual," ujar Hari.

"Kita mau menjual 200.000 unit rumah saja kok susah, padahal harganya lebih rendah (dari mobil). Mobil harganya sudah Rp 100 juta sampai Rp 200 juta. Rumah subsidi kita harganya berapa, cuma Rp 88 juta, ini naik jadi Rp 125 juta dan itu buat masyarakat lagi," imbuhnya.

Heri mengungkapkan, pengembang yang berada di bawah payung REI memang tetap bisa bertahan. Namun, mereka terpaksa menjual rumah di luar FLPP.

"Pengembang bisa survive, tapi sayang, dia pasti menjual produk yang di luar FLPP. Kami tetap mendorong," kata Hari.

"Kami berpikir, kok tidak adil di bisnis perumahan ini susah banget, tapi di bisnis mobil enak banget. Kita bikin rumah kecil, mau rumah menengah, rumah atas, maka harus bikin jalan. Pengusaha mobil itu tak usah bikin jalan, tapi yang bikin macet itu mobil. Enggak adilnya di situ," imbuhnya.

Kemudian, Hari juga mengungkapkan bahwa aturan rumah 1-2-3 sangat timpang jika dibandingkan dengan tidak adanya aturan untuk pengusaha maupun konsumen otomotif. Selain itu, mendukung pengusaha properti sebenarnya juga mendukung pengusaha Indonesia. Sementara itu, pengusaha otomotif berasal dari berbagai negara.

"Lalu, orang yang berbisnis perumahan itu pengusaha dalam negeri. Coba bisnis mobil, orang Jepang-lah, orang Korea-lah," ujarnya.(Tabita Diela)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×