Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Anastasia Lilin Yuliantina
JAKARTA. Penyelesaian proses renegosiasi kontrak pertambangan yang ditargetkan rampung sebelum pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono paripurna, terancam gagal. Pasalnya, pembahasan renegosiasi dengan perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) generasi satu, terganjal pada poin penyesuaian penerimaan bagi negara.
Poin penerimaan bagi negara ini berupa pajak dan royalti. Namun dari sumber penerimaan negara, pembahasan soal pajak yang masih alot. "Yang masih pelik adalah pajak penghasilan (PPh) badan sudah PKP2B (generasi I) saat ini 45%, sementara perusahaan lain seperti pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dikenakan 25%," terang Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu, (3/9).
Masalahnya, PPh untuk pemegang PKP2B generasi satu tidak bisa diturunkan. Padahal di sisi lain, kewajiban membayar setoran pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak pertambahan nilai (PPN) plus pajak daerah juga harus dikenakan sesuai dengan perundangan yang berlaku.
Kondisi itulah yang memberatkan pengusaha, karena itu, mereka meminta aturan tetap sama seperti yang lama. Atau, PPh di turunkan dari 45% menjadi 25% seperti halnya IUP, plus memenuhi kewajiban lain.
Kalau mengenai pungutan royalti 13,5% dari harga acuan batubara (HBA), Sukhyar bilang sudah tak menjadi perdebatan lagi. Dia menduga, pengusaha lebih terasa berat oleh pungutan pajak.
Sekadar mengingatkan, sebelumnya persentase pemegang IUP adalah beragam, tergantung kalori batubara, yakni 3%, 5%, dan 7% dari HBA. Melalui renegosiasi, persentase royalti pemegang IUP disamakan dengan persentase royalti pemegang PKP2B.
Poin penerimaan bagi negara itu adalah bagian dari enam poin yang dibahas dalam renegosiasi kontrak, antara pemerintah dan para pengusaha pertambangan. Renegosiasi ini perintah dari UU no 4/2009 tentang Mineral dan Batubara. Menurut Sukhyar, 73 perusahaan pemegang PKP2B sudah menyetujui lima poin renegosiasi kontrak.
Siap amandemen
Nah, sembilan dari 73 perusahaan pemegang PKP2B adalah pemegang PKP2B generasi satu. Sembilan perusahaan itu meliputi PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Berau Coal dan PT Adaro Indonesia. Selanjutnya, ada PT Kideco Jaya Agung, PT Muti Harapan Utama, PT Tanito Harum, PT Tanito Harum dan PT Indominco Mandiri.
Menanggapi poin persentase pajak yang membesar, Singgih Widagdo, Corporate Secretary Berau Coal mengaku akan mengkaji masalah ini dengan investor. Karena itulah, hingga kini belum ada keputusan final dari sikap Berau terhadap poin yang belum disepakti itu. "Hal ini baru kami akan diskusikan secara internal," kata Singgih.
Berbeda dengan Indominco Mandiri. Anak usaha PT Indo Tambang Raya Megah Tbk menyatakan telah merampungkan proses renegosiasi dengan Kementerian ESDM.
Malah Indominco siap mengajukan amandemen kontrak dengan pemerintah. "Secara prinsip kami akan patuh dan taat pada aturan dan ketentuan yang telah dan akan ditetapkan pemerintah," kata Leksono Poeranto, Direktur Indominco Mandiri.
Meskipun pembahasan renegosiasi belum juga tuntas, Sukhyar optimistis penandatangan nota kesepahaman amandemen kontrak sesuai target. Apalagi, pemerintah juga telah meneken nota kesepahaman amandemen kontrak dengan 33 PKP2B di luar generasi satu.
Kementerian EDSM akan ngebut memfinalisasi nota kesepahaman agar bisa diteken September ini. "Kalau perusahaan pemegang kontrak karya (KK) umumnya perusahaan asing sepakat dengan pengenaan PPh 35%, kami pun berharap perusahaan pemegang PKP2B generasi satu yang milik pengusaha nasional juga bisa sepakat," harap Sukhyar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News