kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Renegosiasi kontrak terganjal hitungan pajak


Kamis, 03 Maret 2016 / 11:16 WIB
Renegosiasi kontrak terganjal hitungan pajak


Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak kuasa mengurai proses renegosiasi amandemen kontrak perusahaan pertambangan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi I yang mandek.

Efeknya, kelompok perusahaan tambang yang meneken kontrak sebelum 1990 ini ngotot tak mau membayar tarif pajak, sesuai aturan yang berlaku.  Apalagi, Kementerian ESDM  juga tak punya kewenangan untuk menyetujui permintaan ini lantaran urusan pajak jadi kewenangan Menteri Keuangan.

"Masih di bahas sama Kementerian Keuangan, ada pengusaha (PKP2B Generasi I) belum sepakat," terang Sujatmiko, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada KONTAN, Rabu (2/3). 

Dengan kondisi ini, Kementerian ESDM pun tak berani memasang target waktu renegosiasi dengan PKP2B Generrasi I yang harusnya selesai di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini kelar.

Padahal, Menteri Keuangan minta dalam renegosiasi kontrak pertambangan, Kementerian ESDM  mewajibkan sistem pajak pre filling. Yakni perusahaan tambang wajib membayar tarif pajak sesuai dengan aturan yang berlaku saat ini. Sementara perusahaan tambang generasi I ngotot dengan sistem nailed down, atau mengikuti kesepakatan perpajakan yang sama dengan saat meneken kontrak awal.

Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menambahkan penolakan perusahaan generasi I soal penghitungan pajak ini lantaran mereka akan terbebani. Dalam hitungan dia, jika mengikuti keinginan pemerintah maka perusahaan tambang ini harus membayar tarif pajak penghasilan (PPh) badan usaha sebesar 45% dari total penghasilan.

Hal ini masih ditambah dengan kewajiban membayar royalti sekitar 13,5% dari total produksi. "Tarif ini masih masih sangat tinggi di tengah harga batubara yang sedang murah," kata Hendra.

Susah beri sanksi

Di luar masalah perpajakan ini, sejatinya mayoritas PKP2B sudah tidak masalah dengan poin-poin renegosiasi. Seperti kita tahu ada enam isu dalam renegosiasi kontrak
Pertama pengurangan wilayah kerja atau luas lahan, kedua kelanjutan operasi, dengan berganti menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). 

Ketiga penerimaan negara termasuk di dalamnya kenaikan royalti. Selain itu poin keempat kewajiban pengolahan dan pemurnian dalam negeri untuk perusahaan tambang mineral. Kelima kewajiban divestasi saham, lalu keenam kewajiban penggunaan tenaga kerja lokal barang dan jasa pertambangan dalam negeri.

Dari beberapa PKP2B generasi I, baru ada tiga perusahaan yang sudah sepakat meneken amandemen kontrak. Mereka adalah PT Multi Harapan Utama, PT Indominco Mandiri, dan PT Kendilo Coal Indonesia.

Yang jadi masalah adalah pemerintah tak bisa berbuat banyak untuk menindak tegas perusahaan PKP2B generasi I ini, misalnya dengan memberikan sanksi keras dengan menahan ekspor atau sanksi lain. Sebab hingga saat ini mayoritas produksi batubara secara nasional atau lebih dari 50% berasal dari PKP2B generasi I tersebut. 

Jika pemerintah menindak tegas, penerimaan negara bukan pajak dari pertambangan batubara bisa anjlok lebih dalam tahun ini. Sementara kontrak PKP2B itu rata-rata baru akan berakhir pada 2022 mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×