kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45891,58   -16,96   -1.87%
  • EMAS1.358.000 -0,37%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Respon Industri dan Pengamat atas Kebijakan Larangan Ekspor CPO dan Turunannya


Kamis, 28 April 2022 / 22:52 WIB
Respon Industri dan Pengamat atas Kebijakan Larangan Ekspor CPO dan Turunannya
ILUSTRASI. Pekerja mengumpulkan buah kelapa sawit di salah satu tempat pengepul kelapa sawit


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto

Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira menilai, kebijakan larangan ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya belum tentu efektif menurunkan harga minyak goreng karena sejumlah alasan.

Pertama, kebijakan larangan ekspor yang ditetapkan pemerintah, menurut Bhima, berpotensi memicu naiknya harga CPO di pasaran dalam negeri.

Baca Juga: Ini Kata Gapki Terkait Kebijakan Larangan Ekspor CPO dan Produk Turunannya

Bhima berujar, pelaku usaha berpotensi menaikkan harga jual CPO  di pasaran sebagai langkah untuk mengompensasi potensi pendapatan yang hilang akibat adanya larangan ekspor.

Walhasil, ikhtiar pemerintah untuk menurunkan harga minyak goreng curah ke angka Rp 14.000 per liter menjadi sulit untuk dicapai.

Di sisi lain, pasokan CPO yang dialokasikan ke pasar domestik juga belum tentu menjamin ketersediaan pasokan bahan baku untuk pembuatan minyak goreng. Hal ini lantaran harga biodiesel plus subsidi yang bisa mencapai Rp 16.665 per kilogram bisa jadi lebih menarik bagi pemasok CPO.

“Yang saya khawatirkan, kelebihan suplai dari CPO ini akan diteruskan kepada biodiesel karena harganya jauh lebih menarik daripada (harga) ke pabrik minyak goreng,” terang Bhima saat dihubungi Kontan.co.id.

Baca Juga: Larangan Ekspor Minyak Goreng hanya Efektif Atasi Gejolak Jangka Pendek

Selain belum tentu efektif, Bhima juga menilai bahwa kebijakan larangan ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya bisa membawa sejumlah dampak negatif. Bhima berujar, kebijakan larangan ekspor bisa  mempersulit pencapaian target pajak dan juga mempersulit target penurunan defisit APBN.

Dampak negatif lainnya, kebijakan larangan ini bisa saja memicu gugatan di World Trade Organization (WTO) serta aksi retaliasi dagang oleh negara lain seperti misalnya India.

Rekomendasi Bhima, pemerintah sebaiknya menaikkan tarif pungutan ekspor dan bea keluar. Selain itu, pemerintah juga perlu memperbaiki tata niaga minyak goreng.

“Terakhir, masalah minyak goreng ini karena juga absennya BUMN dan absennya Bulog. Apalagi, minyak goreng itu tidak termasuk ke dalam komoditas yang diatur oleh Bulog maupun Badan Pangan, karena dianggap industri hasil olahan, jadi harusnya dimasukkan menjadi bahan kebutuhan pokok yang harus diatur, termasuk stabilitas harga,” imbuh Bhima.

Sedikit informasi, menurut data yang diolah oleh Kementerian Perindustrian, Industri pengolahan sawit memiliki kontribusi sebesar 17,6% terhadap total ekspor nonmigas pada tahun 2021. Tercatat, ekspor produk sawit sekitar 40,31 juta ton dengan nilai ekspor US$ 35,79 miliar di tahun 2021.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×