Reporter: Mona Tobing | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Niat pemerintah untuk mewujudkan swasembada sapi kembali diuji. Sebab, revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan justru melapangkan impor bibit sapi atau sapi bakalan.
Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSI) Teguh Boediyanabisa mengatakan, revisi undang-undang itu memungkinkan pemerintah mengimpor bisa sapi berdasarkan negara (country based) maupun zona (zona based). Dia khawatir impor sapi ini berpotensi memperparah posisi peternak sapi lokal. Soalnya, impor sapi diperkirakan kembali membanjiri pasar dalam negeri dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan.
Teguh menilai rencana impor sapi indukan juga tidak logis karena selama ini pemerintah telah melakukan pembiaran pemotongan sapi betina produktif dan bunting. "Ratusan ribu ekor sapi betina produktif dan bunting dipotong setiap tahun tanpa adanya law enforcement sampai detik ini masih berlangsung," jelasnya, Rabu (3/9).
Menteri Pertanian Suswono berdalih meski keran impor dibuka belum tentu jumlahnya langsung naik. Namun dia bilang, impor sapi indukan bisa memperbanyak populasi sapi dan meningkatkan produksi.
Keberatan zona based
Selain itu, peternak lokal keberatan dengan impor sapi berdasarkan zona based. Dengan ketentuan ini, pemerintah bisa mengimpor sapi dari negara yang pernah terserang wabah penyakit kuku dan mulut.
Kementerian Pertanian memang berniat membuka peluang impor sapi dari Brasil dan India agar tidak tergantung pada sapi dari Australia dan Selandia Baru. Tapi, rencana itu terhadang lantaran, sapi dari Brasil masih berpotensi terjangkiti penyakit mulut dan kuku.
Karena itu, Teguh menilai, revisi Undang-Undang Peternakan ini berpotensi mental di tengah jalan lantaran bertentangan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi No 137/PUU-VII/2009 terkait dengan permohonan judicial review UU 18/2009. Keputusan MK menyatakan bahwa frasa “unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona“ yang terdapat dalam Pasal 59 ayat (2) menunjukkan tidak adanya perlidungan maksimal terhadap rakyat dari risiko masuk dan menyebarkan penyakit hewan menular.
Head of Sales Marketing PT Santosa Agrindo Ignatius Adiwira menilai, revisi undang-undang tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya seperti, Indonesia tidak tergantung pasokan sapi dari Australia dan Selandia baru.
Kelemahannya, tidak ada jaminan bahwa setiap sektor atau zona yang ditetapkan menghasilkan sapi yang dibiakkan sehat dan tidak teridentifikasi penyakit. Sebab, selama ini, sistem pencatatan dan pengawasan sapi di tanah air masih lemah. "Indonesia belum ada sistem pencatat seperti di Australia, yakni national live stock identification system. Di sana, sejak lahir, sapi telah didaftar dan memiliki kode dan asal yang jelas," ujar Ignatius, Selasa (2/9).
Selain itu, soal jarak impor dan ketersediaan kapal juga harus menjadi perhatian pemerintah. Sebab, nanti ujung-ujungnya akan mempengaruhi soal harga. Contohnya, mendatangkan sapi dari Brasil apakah lebih murah daripada impor sapi asal Australia? Apalagi, saat ini belum ada pelabuhan khusus ternak di Indonesia sehingga distribusi sapi cenderung berantakan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News