Reporter: Filemon Agung | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Penghentian operasi dan pembatalan izin perpanjangan operasi yang dialami PT Tanito Harum berbuntut panjang. Saat ini wilayah pertambangan Tanito sudah tergenang air, terbakarnya sejumlah stok batubara, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) 300 karyawan.
Bayangan ketidakpastian ini juga turut menghantui sejumlah perusahaan batubara PKP2B generasi pertama, antara lain PT Arutmin Indonesia pada 2020, PT Kaltim Prima Coal pada 2021, PT Kendilo Coal Indonesia pada pada 2021, PT Multi Harapan Utama pada 2022, PT Adaro Indonesia pada 2022, PT Kideco Jaya Agung pada 2023, serta PT Berau Coal pada 2025.
Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) Dileep Srivastava yang dihubungi Kontan.co.id bilang sejauh ini pihaknya masih menanti langkah pemerintah sebelum mengajukan perpanjangan operasi bagi dua anak usaha yakni PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal. "Kami masih menanti keputusan final dari otorisasi," ujar Dileep, Rabu (10/7).
Sementara itu, dalam catatan Kontan.co.id, Chief Executive Officer PT Arutmin Indonesia Ido Hutabarat sempat mengatakan bahwa pihaknya tengah menyusun permohonan perpanjangan perizinan, dan akan segera mengajukannya ke Kementerian ESDM pada Semester I ini. "Sedang kami proses, akan kami ajukan tahun ini, rencananya bisa semester I ini," katanya beberapa waktu lalu.
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi bilang kepastian investasi bagi perusahaan batubara tidak semata-mata sekedar produksi. "Ini kan perusahaan, di situ ada sumber daya manusia, karyawan dan investasi. Harus dipertimbangkan berapapun kontribusinya sebab ada kepentingan bisnis dalam perusahaan," jelas Redi di Jakarta, Rabu (10/7). Menurut Redi pemerintah perlu menjamin kepentingan tersebut.
Hal ini menurutnya akan menimbulkan kegelisahan bagi sejumlah perusahaan batubara. "Bahkan industri lain yang ditunjang batubara patut risau akan ini," ungkap Redi.
Salah satu industri yang bertopang dari produksi emas hitam ini adalah industri kelistrikan. Seperti diketahui sejauh ini Perusahaan Listrik Negara masih menggantungkan nasib pembangkitnya dari komoditas ini.
Sementara itu, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI), Irwandi Arif bilang sejauh ini penghentian operasi Tanito Harum belum begitu terlihat dampaknya bagi industri batubara terlebih melihat produksi Tanito yang hanya mencapai satu juta ton. "Tapi kedepannya ada dua yang akan habis kontrak dengan total produksi mencapai 100 juta ton," sebut Irwandi.
Adapun kedua perusahaan tersebut yakni PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal. Lebih jauh Irwandi menilai jika kedua perusahaan mengalami nasib serupa maka dampak yang ditimbulkan bisa lebih besar.
Keduanya berpendapat, langkah paling mungkin dalam mengatasi kondisi ini melalui kehadiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). "Sedang terjadi kekosongan hukum dan tidak bisa diatasi dengan cara UU seperti saat ini," jelas Irwandi.
Sementara itu, Redi menambahkan adanya opsi lain yakni melalui kehadiran Mahkamah Konstitusi. "Bisa ajukan uji materi, ini juga bisa menjadi angin segar bagi ESDM jika disetujui," jelas Redi.
Menurut Redi, dengan persetujuan MK maka langkah Kementerian ESDM kali lalu yang memberi persetujuan perpanjangan operasi tidak bisa dianggap menyalahi aturan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News